Chapter
I : Malam Pertama
Bagian
1
“Sora...” Aku
memanggil Sora yang kini duduk tepat di hadapanku.
“____”
Ia tidak merespon sama sekali.
Mungkin suara bising kereta membuatnya tidak dapat
mendengar suaraku.
“Sora, Bisakah kau mengambilkan buku di dalam yang ada di
dekatmu itu?” Aku kembali mencoba memancingnya untuk berbicara.
“____”
Sora masih tidak mau berbicara.
Tak lama tangannya bergerak meraba ke dalam tas di
dekatnya, lalu mengeluarkan sebuah buku dari sana dan memberikannya padaku. Rupanya
ia mendengarkan apa perkataanku tadi.
Aku lalu mengambil
buku itu dan meletakknya di sampingku. Sejak awal memang aku tidak berencana
untuk membacanya, aku hanya ingin memancing agar Sora mau berbicara padaku.
Namun tampaknya rencanaku ini gagal.
“Sora, ayolah... Kita sudah hampir separuh jalan nih.
Sampai kapan kau mau diam membisu seperti ini?”
“____”
10 menit telah berlalu dan Sora masih saja mengunci
mulutnya rapat – rapat.
Tampaknya ini memang sudah menjadi kebiasaan dirinya. Saat
Sora marah ia tidak melepaskan amarahnya seperti orang lain namun, Sora lebih
memlih untuk mengunci mulutnya rapat – rapat dan menundukkan kepalanya seakan
sedang merenungkan sesuatu.
Kanzaki Sora, adik perempuanku. Jarak umur kami berdua
tidak terpaut jauh, hanya selisih 1 tahun saja. Namun, seakan tidak terima
kalau ia lebih muda dariku, ia tidak pernah memanggilku dengan sebutan “Kakak”,
melainkan hanya memanggil nama panggilanku saja, Aoi. Tapi aku rasa itu
hanyalah masalah sepeleh yang tidak patut untuk dipermasalahkan, karena semua
itu terserah Sora mau memanggilku apa.
“Aoi.”
Sambil memanggil namaku, Sora bangun dari tempat duduknya.
“Ada apa?”
Sambil menyipitkan
matanya, Sora berkata, “Geser dikit...”
“Eh? Untuk apa?”
“Sudahlah, cepat!”
Aku tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Sora. Tapi,
daripada dia nantinya marah lebih aku tidak bertanya lagi.
Aku menggeser posisi dudukku ke arah berlawanan dengan
jendela kereta.
Tak lama setelah itu, Sora langsung pergi duduk di
sampingku dan menyandarkan kepalanya ke pundakku.
“Eh?”
“Apa?”
Ia kembali menyipitkan matanya.
“Tidak, tidak apa – apa.”
Aku semakin tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran
Sora.
Kalau tidak salah, ini pertama kalinya aku duduk dengan
anak perempuan, meski dia adalah adikku sendiri. Tidak heran kalau otakku mulai
berpikiran aneh.
Samar – samar aku dapat mendengarkan suara nafasnya. Tidak
hanya itu, samar – samar tercium aroma wangi dari tubuh Sora. Mungkin itu
berasal dari sampo atau sabun yang ia pakai.
Rambut panjangnya yang terurai, kulitnya yang putih,
bibirnya yang tampak begitu lembut, serta bola matanya yang berwarna biru
layaknya laut.
Memang ini akan terdengar aneh bila aku yang
mengucapkannya tapi, aku mengakui bahwa dia adalah perempuan paling manis dari
semua perempuan yang pernah aku temui. Meski sifat cueknya itu adalah nilai
minus.
Aku sempat berpikir, apakah Sora sudah mempunyai orang
yang dia sukai? Memang aku sering mendengar kabar kalau dia sangat terkenal di
sekolah sebelumnya, tapi aku belum pernah mendengar kalau dia menyukai
seseorang. Mungkinkah dia menutupinya dariku?
Sekali saja, aku ingin mengetahui laki – laki yang disukainya seperti
apa.
Bukan, ini bukan perasaan cemburu. Hanya saja aku ingin
mengetahuinya.
Sora selalu cuek padaku meskipun aku adalah kakak
kandungnya. Bagaimana bisa ia sampai menyukai orang lain? Apa yang orang itu
punya dan aku tidak!? Aku ingin mengetahuinya!
Beberapa menit berlalu, selagi aku menggerutu di dalam
hati, Sora tidak berpindah dari posisinya. Tampaknya ia tertidur. Bisa –
bisanya ia tidur dengan posisi bersandar ke bahu laki – laki seperti ini. Kalau
begini jadinya, mau tidak mau aku harus duduk membatu agar ia tidak terbangun.
Sudahlah, lagian tidak lama lagi kami akan segera sampai
ke tempat tujuan, tempat di mana kami berdua akan menjalani kehidupan baru,
Kota Tresia.
Bagian
2
“Sora, jangan lupa dengan bawaanmu.”
“____”
Tanpa menghiraukan perkataan Aoi, Sora langsung turun
begitu saja dari kereta tanpa mengecek terlebih dahulu barang bawaannya
walaupun yang ia bawa hanyalah sebuah tas saja.
Aoi dan Sora tidak membawa banyak barang meskipun mereka
berpindah tempat tinggal. Ini karena pada hari sebelumnya Aoi sudah mengirim
terlebih dahulu sebagian besar barang bawaan mereka melalui sebuah pelayanan
jasa pindah rumah. Jadi sementara mereka masih berada di stasiun ini, mungkin
barang mereka sudah sampai terlebih dahulu di tempat tinggal baru mereka.
Sudah satu jam berlalu sejak mereka Aoi dan Sora turun
dari kereta, tapi tidak ada tanda – tanda kedatangan bus sama sekali. Jangankan
bus, bahkan di dalam stasiun tersebut tidak ada orang lain selain mereka
berdua.
Aoi yang kebingungan mulai menggaruk kepalanya. Berbeda
dengan Sora yang duduk santai di kursi sambil mengayun – ngayunkan kakinya.
“Aneh, seharusnya pada jam segini akan ada bus yang
datang menjemput kita di sini,” ucap Aoi sambil mengeluarkan sebuah buku
panduan dari dalam tas.
Aoi membalik – balikkan halaman buku itu, tapi ia belum
menemukan petunjuk sama sekali.
“____”
*Sret* Tanpa basa – basi Sora langsung merebut buku
panduan di genggaman Aoi. Dengan cepat ia membalikkan halaman buku tersebut,
hingga akhirnya tiba pada halaman terakhir.
“____”
Untuk sesaat Sora kembali menyipitkan matanya. Ia lalu
menunjukkan sebuah tulisan di halaman terakhir buku tersebut pada Aoi.
“Hm? Tahun 2009? Kenapa dengan tahun 2009?”
Sambil memiringkan kepalanya, Aoi mencoba menerka apa
yang dimaksud oleh Sora, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu.
“2009!?”
Dengan tanpa sadar Aoi mengucapkan kata itu dengan suara
keras. Tapi di tempat sepi itu, ia tidak perlu khawatir akan ada orang
memarahinya. Kecuali seseorang yang sedari tadi ada disampingnya, Sora.
Sora menghela nafas. Nampaknya parameter moodnya kini
sudah menurun drastis.
Buku panduan di
genggaman Aoi saat ini adalah buku panduan pertama yang pernah ia beli semasa
hidupnya. Tetapi ia tidak menyadari jika buku panduan tersebut adalah buku
panduan untuk 10 tahun lalu.
Tidak heran bilamana tidak ada satupun kendaraan melewati
jalan itu sedari tadi. Dalam kurun waktu 10 tahun, rasanya cukup untuk sekedar
mengubah arus lalu – lintas yang ada.
Kini selain Aoi harus memikirkan cara bagaimana untuk
sampai ke kota Tresia, Aoi juga harus memikirkan cara untuk menghindari tatapan
dingin dari seseorang di sampingnya.
“Sora,” Aoi membalikkan badannya memanggil Sora.
“Umm?”
“Bagaimana kalau kita jalan saja?”
“....Eh?”
Sora kembali menyipitkan matanya.
“Ya daripada kita duduk di sini terus, mending kita jalan
saja. Selain itu tampaknya kota Tresia tidak jauh lagi.” Aoi mencoba menyemangati
adiknya itu.
Memang walaupun arus lalu lintas berubah, kota itu jelas
tidak akan berpindah tempat. Pilihan Aoi kali ini cukup tepat namun, seberapa
jauh jarak yang harus ditempuhnya Aoi sama sekali tidak mempunyai petunjuk.
Sora kembali menghela nafas. Ia lalu berkata, “Kau
serius?”
“Mungkin...”
“____”
Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi mendung. Awan
gelap yang entah datang dari mana mulai berkumpul. Angin dingin pun mulai
berhembus.
Sora memiliki kemampuan cukup aneh. Entah itu merupakan
mukjizat yang diberikan oleh Tuhan atau sihir namun, Kanzaki Aoi cukup berpengalaman
dengan kemampuan Sora ini. Lebih tepatnya, ialah yang paling sering merasakan
dampak dari kemampuan Sora.
Setiap mood Sora sedang jelek, biasanya hujan akan turun
dan tidak akan berhenti sampai moodnya kembali normal. Seolah – olah Sora dapat
mengendalikan cuaca.
Orang yang sering bersama Sora adalah Aoi, karena itulah
sudah beberapa kali Aoi basah kuyup akibat hujan yang disebabkan oleh Sora.
Tampaknya kali ini ia akan kembali mengalami hal sama.
Seluruh permukaan langit kini telah tertutupi oleh awan
gelap. Bahkan matahari yang tadi masih bersinar terang, sekarang entah di mana
keberadaannya. Sepertinya tidak lama lagi hujan akan turun.
“Aku harus memikirkan cara untuk mengambilkan mood Sora!”
ucap Aoi dalam hati sambil mengepalkan telapak tangan kanannya.
Itu adalah tindakan pertama yang harus dilakukan oleh Kanzaki
Aoi.
Jika nanti hujan telah turun, maka tidak ada cara lain
selain berteduh sampai hujan tersebut berhenti, dengan kata lain sampai mood
Sora kembali normal.
Di tengah kebingungan, tiba – tiba Aoi teringat cara
untuk mengembalikan mood Sora kembali normal dengan cepat.
Aoi meraba – raba isi tasnya mencari sesuatu.
“Ada!” Aoi mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya
itu. Tampaknya benda itulah yang ia cari sedari tadi. Sebuah benda kecil yang
terbungkus oleh plastik transparan.
Benda itu adalah Permen Coklat. Tidak ada yang spesial
pada permen coklat itu. Permen tersebut bisa didapatkan dengan mudah di toko –
toko pinggir jalan hanya dengan uang sebesar 500 rupiah saja.
Namun ada suatu alasan yang membuat permen coklat
tersebut menjadi senjata andalan Aoi untuk memperbaiki mood adiknya itu.
“Sora, kemarilah sebentar.” Aoi memanggil nama adiknya.
“____”
Dengan perasaan malas Sora berjalan menuju Aoi.
“... Apa?” tanya Sora dengan nada sinis.
“Aku mau memberikan sesuatu untukmu.”
Aoi menghampiri Sora sambil menyembunyikan permen coklat
itu di belakang punggungnya.
“... Eh?”
Sekilas pipi Sora memerah, namun ia berusaha menutupinya
agar Aoi tidak mengetahuinya.
“A... Apa?”
*Hap* Secepat kilat Aoi langsung memasukkan permen coklat
tersebut ke dalam mulut Sora.
Tak lama Sora mengunyah permen tersebut, perlahan warna
wajahnya menjadi cerah kembali.
Sekali lagi, permen coklat itu hanyalah permen coklat
biasa yang dapat ditemukan di toko – toko pinggir jalan. Tidak ada bahan khusus
pada permen tersebut. Hanya saja tubuh Sora lah yang memicu efek tersebut.
Kanzaki Sora, perempuan yang tidak tahan terhadap coklat.
Setiap kali ia mengkonsumsi coklat, meskipun hanya sedikit, itu akan dapat
membuat dirinya mabuk.
Memang dari luar ia tidak terlihat seperti orang mabuk
pada umumnya, hanya saja pada kondisi ini Sora biasanya lebih “jinak” pada Aoi.
“Ah... kalau begini rasanya aku seperti berbuat jahat
padanya,” ucap Aoi sambil menggaruk kepalanya.
Mengikuti mood Sora yang kembali baik, awan gelap yang
tadinya menutupi langit pun hilang entah kemana. Langit kembali bersih tanpa
awan sedikitpun seperti baru saja dicuci. Strategi permen coklat berjalan
sukses.
“Nah, ayo kita berangkat, Sora!”
Sora mengangguk sebagai tanda setuju.
Sesaat sebelum Aoi melangkah, tiba – tiba Sora datang menggenggam
tangan Aoi.
“Eh?”
Aoi memiringkan kepalanya.
“___”
“Ah sudahlah, ayo kita berangkat,” ucap Aoi sambil
menarik tangan Sora, mengajaknya untuk berjalan.
Sambil bergandengan tangan, mereka berdua berjalan
mengikuti jalan raya besar yang entah mengarah kemana.
Akan tetapi, disepanjang perjalanan, mereka tidak melihat
adanya bangunan sama sekali disekitar jalan tersebut. Sejauh mata memandang, yang
dapat mereka lihat hanyalah hamparan sawah yang sangat luas.
Kota Tresia adalah kota besar. Perekonomian kota tersebut
pun cukup maju. Selain itu, kota Tresia adalah satu – satunya kota yang masih
berada di bawah kerajaan, yaitu Kerajaan Tresia. Bila kota dengan keberadaan
sebesar itu tiba – tiba menghilang, tentu akan menjadi bahan pembicaraan
seluruh dunia.
Setelah kurang lebih 30 menit Aoi dan Sora berjalan,
akhirnya mereka berdua menemukan sebuah gerbang yang berdiri tidak jauh dari
tempat mereka berjalan saat ini. Di gerbang tersebut terdapat papan besar bertuliskan
“Selamat Datang di Kota Tresia”. Tampaknya setelah berjalanan panjang, akhirnya
Aoi dapat bernafas lega karena kota tempat mereka berdua akan tinggal kini
sudah berada di depan mata.
Seperti yang diharapkan dari sebuah kota kerajaan, Kota
Tresia dikelilingi oleh dinding dengan tinggi sekitar 50 meter. Selain itu di
depan pintu gerbang berjejer 4 buah patung berukuran manusia menghadap ke arah
luar gerbang. 4 buah patung yang tampaknya adalah pahlawan Tresia ini terdiri
atas 2 patung pria dan 2 patung perempuan, dan mereka sebuah berdiri memegang
senjata seperti tombak, pedang, busur, bahkan palu godam. Sepertinya pada saat
itu jenis kelamin tidak membatasi apakah ia bisa ikut dalam peperangan atau
tidak.
Di saat Aoi berdiri tepat di dekat gerbang, perhatiannya
tanpa sengaja tertuju pada 2 patung pria dan perempuan yang tampaknya masih di
bawah umur. Mereka terlihat masih lebih muda 3 tahun jika dibandingkan dengan
Aoi yang sudah menginjak umur 17 tahun.
Dalam benak pikirannya, Aoi tidak tahu ia harus merasa
iri atau kasihan pada mereka. Disamping mereka dapat menjadi pahlawan dengan
umur segitu, Aoi merasa kasihan karena dalam umur yang harusnya mereka habiskan
dengan bermain, akhirnya lenyap akibat mereka berpartisipasi dalam peperangan para
orang tua.
Tak lama akhirnya Aoi dan Sora memasuki gerbang itu. Apa
yang mereka lihat di dalam, bertolak belakang dengan pemandangan yang mereka
lihat di luar.
Jika tadi mereka melihat banyak sawah terbentang di
setiap pinggir jalanan namun, kini mereka dapat melihat banyak bangunan berdiri
di sepanjang jalanan kota.
“Wah... Aku memang sudah pernah melihatnya di internet,
tapi tidak ku sangka kalau kotanya seluas ini. Sora, bagaimana kalau kita jalan
– jalan dulu sebentar?” Aoi menoleh ke arah Sora.
“____” Sora tidak merespon, ia hanya menatap wajah Aoi
saja.
“... Ah baiklah, lebih kita cari dulu apartemen tempat
kita akan tinggal sekarang.”Aoi membatalkan niatnya. Ia teringat kalau ia belum
menemukan tempat yang akan mereka tinggali.
Aoi lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Di kertas itu bertuliskan alamat apartemen yang akan mereka berdua tinggali.
“Hmmm... Seharusnya ada disekitar sini,” ucap Aoi sambil
berjalan sembari menengok ke kanan dan kiri.
“Belum juga ketemu?” Sora yang tadinya diam akhirnya
mulai kembali membuka mulutnya. Tampaknya pengaruh permen coklat tadi sudah
habis.
“Er... Sudah kok.”
“Sudah tersesat lagi?” ucap Sora sambil memiringkan
kepalanya.
“Tidak tidak, belum kok.”
“Eh?”
“Ups...” Aoi menutup mulutnya dengan tangan kirinya.
“___” Sora kembali menghela nafas. Tampaknya ia sudah
lelah.
Seolah tidak terjadi apa – apa, Aoi kembali menggandeng
Sora dan berjalan meneruskan langkahnya mencari alamat yang tertulis di kertas.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, mereka akhirnya
tiba di depan sebuah taman yang cukup besar dengan pepohonan rindang. Di tengah
taman tersebut terdapat kolam air mancur dengan air yang sangat jernih. Bahkan
kau dapat melihat bayanganmu terpantul di sana layaknya sebuah cermin.
Di seberang taman berdiri sebuah apartemen mewah dengan
cat berwarna putih. Dilihat darimanapun, pasti orang kaya lah yang tinggal di
sana.
“Haha... Ini Apartemen ya? Aku penasaran orang seperti
apa yang tinggal di sini,” ucap Aoi sambil menghadap gedung.
Aoi kemudian melihat nama apartemen tersebut yang
tertulis di sebuah papan.
“____”
Aoi merasa pernah melihat nama apartemen tersebut sebelumnya
dan itu rasanya baru saja terjadi.
“EH!?” Tanpa sadar Aoi mengeluarkan suara keras. Aoi
terkejut setelah teringat kalau nama apartemen di depannya ini sama dengan nama
apartemen yang tertulis di kertas yang ia bawa, dengan kata lain tempat mereka
akan tinggal.
Memang dengan uang pemberian orang tua, mereka masih
dapat menyewa kamar apartemen tersebut setidaknya untuk satu tahun tapi, entah
dengan biaya hidup lainnya.
“Ada apa?” Sora yang melihat Aoi terkejut, akhirnya menjadi
penasaran.
“Err... Kesalahan teknis... Mungkin...”
“Mungkin? Apa maksud ‘mungkin’-mu itu?” Lagi – lagi Sora
melirik ke arah Aoi. Tampaknya benar kalau pengaruh permen coklat sebelumnya
telah habis.
“Ah sudahlah, lebih kita pastikan saja dulu!” Tekanan
dari Sora membuat Aoi tanpa pikir panjang lagi memencet bel yang berada tepat
dihadapannya saat itu.
UUUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu-----------
Sesaat setelah Aoi memencet bel tersebut, tiba – tiba
berbunyi suara sirine. Aoi secara reflek menengok ke kanan dan ke kirinya,
mencari tahu dari mana suara tersebut berasal.
Setelah ia telusuri, ternyata suara tersebut tidak lain
dan tidak bukan berasal dari apartemen yang berada di depannya saat ini.
“... Orang macam apa yang menjadikan suara sirine sebagai
suara bel apartemen?” Aoi kembali menggaruk kepalanya. Sora yang tampaknya
terkejut dengan suara sirine tadi, tanpa disadari memegang ujung baju Aoi.
“E... Sora?”
“____” Sora tidak menjawab namun, dari ekspresi wajahnya
tampaknya ia terkejut dengan suara barusan.
Sora yang tadinya pendiam dan cuek, kini nampak seperti
seorang anak kecil di mata Aoi.
“Ya, tunggu sebentar!” Terdengar suara perempuan menjawab
dari arah dalam bangunan itu.
“Eh? Suara perempuan?”
“A-O-I!” Tanpa alasan yang jelas, tiba – tiba Sora
mencubit tangan Aoi.
“EH!? Kenapa tiba – tiba kau mencubitku, Sora!?” tanya
Aoi sambil mengelus tangannya yang kesakitan.
“Huh!” Sora membuang mukanya.
“____” Aoi
memiringkan kepalanya. Ia semakin tidak mengerti apa yang ada dipikiran adiknya
itu.
“Ah iya, Aoi.”
“Ada apa?”
“Aku ingin kau menjelaskan sesuatu padaku,” ucap Sora
sambil memandangi Aoi dengan tatapan serius.
“Er... Soal?”
“Dari mana kau bisa dapat penginapan sebesar ini? Lagi,
sejak kapan kau memesan tempat ini?”
Akhirnya pertanyaan yang Aoi ingin dengar paling terakhir
telah terucap dari mulut dari mulut Sora.
Selama ini Sora tidak pernah berada jauh dari Aoi,
kecuali ketika mereka bersekolah. Pada saat mereka bersama itu, Sora tidak
pernah melihat Aoi memesan suatu apartemen, atau berencana untuk pindah rumah
sebelumnya. Maka dari itu, Sora sama sekali tidak mengetahui apa – apa tentang
hal ini.
Disaat orang tua mereka berangkat ke luar negeri untuk
bekerja, Aoi tiba – tiba berkata :
“Sora, ayo kita pindah rumah!”
Lalu Sora yang pada saat itu baru saja bangun dari
tidurnya, tanpa sadar mengikuti ajakan dari Aoi.
“Ngg... Soal itu... bisakah aku menjelaskannya nanti?”
“Sekarang,” Sora dengan cepat merespon. Tampaknya rasa
penasarannya sudah tidak bisa dibendung lagi.
Disaat Aoi kebingungan untuk mencari jawaban yang
sekiranya tepat, datanglah dewi penolong.
Dengan seragam bela diri membalut tubuhnya yang langsing
itu, Aoi langsung beranggapan kalau perempuan itu orang yang kaku. Namun pada
kenyataannya tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Aoi.
“Yo! Kalian ada perlu apa datang kemari, Orang Perak?” ucapnya
sambil menyeka wajahnya dengan handuk muka. Nampaknya ia baru saja selesai
berlatih.
“Eh? Orang Perak?” Aoi berbalik tanya.
“Iya, kalian berdua,” ucap perempuan tersebut sembari
mengarahkan jari telunjuknya ke arah rambut Aoi dan Sora.
Memang warna rambut mereka yang berwarna perak sangat
langka. Bahkan di kota Asuka, tempat mereka tinggal sebelumnya, Aoi tidak
pernah menemukan orang lain berambut seperti mereka, bahkan kedua orang tua
mereka pun tidak memiliki warna rambut seperti itu. Jadi tidak heran kalau
mereka sering jadi pusat perhatian.
“... Namaku Kanzaki Aoi, dan ini adalah adikku, Kanzaki
Sora,” Aoi memperkenalkan diri. “Kami ke sini untuk...”
“Ah! Aku tahu!” potong perempuan itu. “Jadi kalian yang
akan menghuni tempat ini?”
“Ah iya benar, tapi...”
“Perkenalkan, namaku Kagura Aoi. Murid kelas 3 Akademi
Tresia. Dengan kata lain, aku adalah kakak kelas kalian!” potong Kagura.
Tampaknya ia adalah tipe orang yang tidak bisa menunggu sampai omongan orang
lain selesai.
“Eh? Dari mana kau tahu?” Sora yang tadinya hanya diam,
kini ikut bertanya.
“Seseorang mengatakannya padaku.”
“Seseorang?”
“Iya, Seseorang.”
“_____” Sora langsung berbalik menatap Aoi.
“Eh!? Kenapa kau menatapku seperti itu!? Aku juga tidak
tahu!?” Aoi membantah tuduhan tidak langsung Sora.
“Kalau begitu...”
“Tenang saja, bukan dari dia kok!” ucap Kagura sambil
mengibaskan telapak tangan kananya.
Sora menghela nafas. Entah mengapa tampaknya ia terkejut
dengan pernyataan Kagura tadi.
“Kalau begitu dari siapa?” Aoi ganti bertanya.
“Ra-ha-si-a,” jawab Kagura sambil tertawa. Tampaknya
tidak mudah bagi Aoi dan Sora untuk menguak sesuatu dari Kagura.
Aoi lalu teringat dengan tujuan awalnya. Ia lalu
memperlihatkan tulisan berada di kertas yang ia bawa sambil berkata, “Apakah
benar yang tertulis di kertas ini adalah nama tempat ini?”
“Kau tidak bisa baca ya? Sudah jelas tertulis ‘Kagura’ di
papan sebesar ini,” ucapnya sambil mengetok – ketok papan nama itu.
“____” Aoi tidak sedikitpun merasa tersinggung, hanya
saja ia merasa kalau perempuan yang berada dihadapannya ini makhluk dari dunia
lain, dalam berbagai arti. “Eh, Tunggu dulu! Berarti kamu pemilik apartemen!?”
sambung Aoi lagi.
“Kamu? Panggil aku dengan sebutan ‘Kak Kagura’,” kata Kagura
sambil menjitak kepala Aoi.
“Maaf...” Aoi mengelus – elus kepalanya untuk
menghilangkan rasa sakit.
“Tapi untunglah kalian sudah datang. Tadi aku sempat
khawatir karena kalian tibanya lama sekali,” ucap Kagura sambil mengelus – elus
kepala Aoi dan Sora. Kalau saja ada orang lain yang melihat mereka bertiga saat
ini, mungkin mereka bertiga akan tampak seperti sebuah keluarga.
“Mmm... ada sedikit masalah tadi,” Aoi menggumam.
“Sudahlah, Aoi cepat masuk!” Kagura langsung menarik
tangan Aoi dan Sora, mengajak mereka untuk masuk ke dalam apartemen.
“Tunggu sebentar!!” Aoi mengerem.
“Hmm?” Kagura menoleh ke arah Aoi.
“Anu... soal uang sewanya...”
“Uang sewa? Uang sewa apa?”
“Ya uang sewa kamar, Kak Kagura.”
“Loh memang kau belum tahu?” Kagura memiringkan
kepalanya.
“Belum, karena itulah...”
“Gratis kok,” potong Kagura.
“EH!?” Aoi tampak terkejut.
Sora lalu kembali menatap Aoi dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Tampaknya ia tidak mengerti apa yang membuat kakaknya itu terkejut.
“Aoi, jangan – jangan kau...”
“Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu sekarang, tapi
buanglah jauh – jauh, Sora!” Aoi mencoba mengelak.
“____” Sora diam dan menatap Aoi dengan cemberut.
“Umm... Kak Kagura, maksudnya gratis itu...”
“Kalian murid Akademi Tresia kan? Sejak dulu memang
apartemen ini disewakan gratis untuk murid – murid Akademi Tresia. Dengan kata
lain, asrama akademi,” ucap Kagura sambil membalikkan badan dan merentangkan
kedua tangannya ke atas seakan ingin menunjukkan betapa luas apartemen miliknya
itu.
“Eh... ternyata ada sistem seperti itu ya...”
“Sebenarnya baru tahun ini sih,”
“Eh?”
“Ya, habisnya sejak dulu tidak pernah ada murid yang
berasal dari luar kota Tresia. Jadi bisa dibilang kalian berdua adalah
pengunjung pertama.”
“Eh.... Siapa yang menetapkan itu?”
“Ketua Rune saat ini yang memintaku. Berhubung aku juga
tidak ada masalah, jadi ya aku setujui saja,” jawab Kagura dengan santai,
seolah – olah ia tidak memperdulikan meskipun rumahnya dijadikan asrama
akademi.
“Rune?”
“Nama Dewan Perwakilan Siswa di Akademi Tresia. Kalau di
gambarkan dengan diagram tingkat, maka kedudukan mereka berada di bawah Kepala
Akademi. Yah, walaupun aku sendiri belum pernah sekalipun bertemu dengan Kepala
Akademi sih,”
“Eh? Sekalipun belum pernah? Selama 3 tahun ini?” Aoi
nampak terkejut.
“Yup. Meskipun aku pernah memasuki ruang Kepala Akademi,
tapi aku tidak pernah bertemu dengannya. Biasanya disaat ada apa – apa, ia
hanya meninggalkan secarik kertas di meja kerja,”
“Kak Kagura pernah masuk ke dalam ruang Kepala Akademi?”
“Pernah beberapa kali. Ketua Rune sebelumnya kan aku.
Tapi sekarang sih aku sudah habis jabatan, alias murid biasa.”
“Eh...”
“Nah, sudah mengertikan? Ayo cepat masuk!” ucap Kagura
sambil kembali menarik tangan Aoi dan Sora.
“Tunggu sebentar!!” Aoi kembali mengerem.
“Apa lagi!?”
“Umm... Dari mana Kak Kagura tahu nama kami?”
“Oh iya, aku belum mengatakan itu ya... Pantas saja
sedari tadi adikmu menatapku dan kau dengan tatapan curiga,” kata Kagura sambil
melirik Sora. Seketika itu Sora langsung memalingkan wajahnya.
“Eh?” Seolah penasaran, Aoi juga ikut melirik Sora.
Sora masih memalingkan wajahnya, seolah tidak ingin
memperlihatkan wajahnya yang memerah akibat malu.
“Ha-ha-ha, itu tidak mungkin,” ucap Aoi dalam hati. Aoi
menganggap, tidak mungkin bila Sora merasa cemburu padanya. Jangankan untuk
cemburu, Sora bahkan jarang bercakap dengan Aoi.
“Semua karena Rune. Seperti yang aku katakan sebelumnya,
kedudukan Rune berada tepat di bawah Kepala Akademi. Maka dari itu untuk
sekedar nama murid baru, mereka pasti tahu,” ucap Kagura sambil menaruh kedua
tangannya di pinggang.
“Oh... Tapi bukankah jumlah murid barunya itu banyak
banget?”
“Iya, tapi murid yang berasal dari luar kota hanya kalian
berdua. Dari mana aku tahu kalian dari luar kota? Seperti yang aku katakan tadi
sebelumnya, selama ini belum pernah ada murid yang berasal dari luar kota
Tresia, karena itulah aku bisa mengetahui nama kalian berdua begitu kalian
mengatakan ingin menyewa kamar di apartemen ini, mengerti?” balas Kagura lagi.
“Hmm... kurang lebih...” Aoi mengangguk.
“Kalau begitu, ayo cepat masuk!” Kagura untuk ketiga
kalinya kembali menarik Aoi dan Sora ke dalam apartemen.
Setelah masuk ke dalam kemudian menaiki tangga satu kali,
akhirnya mereka berhenti di depan kamar dengan nomor 202 terpampang di pintu.
“Nih kunci kamar kalian, meski kota Tresia adalah kota
paling aman, tapi tetap jangan lupa untuk mengunci pintu sebelum keluar dari kamar,”
ucap Kagura sambil menyerahkan 2 pasang kunci pada Aoi dan Sora.
“Oh iya, aku ingin bertanya sesuatu pada kalian berdua,”
ucap Kagura setelah memberikan kunci apartemennya.
“Tentang?” Aoi merespon, sementara Sora masih diam di
balik punggungnya.
“Kalian dua bersaudara?”
“Eh? Iya, memang ada apa?” Aoi memiringkan kepalanya.
Untuk orang yang baru pertama kali bertemu, pertanyaan itu cukup membingungkan
Aoi.
“Hmm... kenalanku di Rune ada yang memiliki warna rambut
persis seperti kalian berdua, jadi tadinya aku mengira kalau kalian tiga
bersaudara.” Kagura menyilangkan tangan di depan dada.
“Eh!?” Aoi dan Sora nampak begitu terkejut. Selama ini mereka
selalu beranggapan bahwa hanya mereka saja yang memiliki warna rambut perak.
“Siapa dia?” Aoi langsung melontarkan pertanyaan pada
Kagura.
“Yume, Shirozawa Yume. Kalau tidak salah ia berada di
kelas yang sama dengan Akari.” Sambil meletakkan telunjuknya di dagu, Kagura mendongakkan
kepalanya ke atas.
“Akari?”
“Kagamiya Akari, ketua Rune saat ini. Setelah aku
berhenti, ia yang menggantikanku sebagai ketua.”
“Ohh...”
“Kau ingin bertemu mereka?”
“Boleh?”
“Boleh saja. Besok setelah upacara penerimaan murid baru,
akan kuajak kau bertemu mereka. Biasanya sih mereka ada di ruang Rune,
bagaimana?”
“Baiklah... Bagaimana Sora, kau juga mau ikut?” Aoi
menoleh ke arah Sora
“... Kau mau aku tidak ikut?”Sora balik menatap Aoi
dengan sinis.
“... Sepertinya kau memikirkan sesuatu yang aneh lagi
ya...”
“____” Sora langsung memalingkan wajahnya.
Aoi menghela nafas. Ia tampaknya mulai lelah menghadapi
tingkah laku adiknya itu. Berbalik dengan Kagura yang sedari tadi tampak
menahan tawanya melihat tingkah laku kakak adik di hadapannya.
“Kalian berdua ini sebenarnya akrab ya!” Kagura akhirnya
melepas tawanya.
Aoi dan Sora pun tersipu malu, sampai – sampai mereka
berdua tidak berani untuk saling bertatap muka.
“Oh iya, mengenai peraturan di apartemen ini. Bisa
dibilang bebas sih, tapi...”
“Tapi?” Aoi dan Sora saling bersinkronasi.
“Seberapa pun kalian saling suka, jangan berbuat mesum di
apartemenku ini, mengerti!?”
Aoi dan Sora tampak terkejut. Terutama Sora, entah
mengapa wajah menjadi pucat.
“HAH!? Itu tidak
mungkin akan terjadi!!!” bantah Aoi.
Aoi tidak dapat membayangkan kalau Sora akan suka
kepadanya. Jangankan suka, bahkan mereka berdua jarang sekali berkomunikasi.
“Kami berdua bersaudara... Hal seperti itu tidak akan
pernah terjadi, Kak Kagura tenang saja,” ucap Sora sambil tersenyum kepada
Kagura.
Untuk pertama kalinya Aoi melihat Sora tersenyum. Melihat
itu, Aoi lalu tanpa sadar meletakkan telapak tangannya di atas kepala Sora, dan
mengelus – elus rambutnya.
Sora menundukkan kepalanya, seakan ia senang ketika Aoi
mengelus – elus rambutnya.
Pipinya memerah. Namun supaya orang lain tidak
mengetahuinya, Sora menutupi dengan menurunkan poni rambutnya. Tapi, ada satu
orang yang mengetahui hal itu.
“Sora!!! Kau manis sekali!!” Kagura melompat memeluk
Sora. Ia lalu mengelus – eluskan pipinya seperti anak perempuan yang baru saja
mendapatkan boneka baru.
“Eh!?” Sora terkejut. Ia lalu berusaha melepaskan diri
dari pelukan Kagura dengan menggunakan kedua tangannya. Akan tetapi melawan
Kagura, seorang ahli bela diri, akhirnya Sora hanya bisa pasrah.
“Kau jadi adikku saja ya, bagaimana?” Kagura melepaskan
pelukannya.
“____” Sora hanya diam. Sementara Aoi disampingnya hanya
tersenyum menahan tawa melihat ekspresi adiknya.
“... Aku tidak bisa.”
“Eh? Kenapa?”
“...Bagiku asalkan ada Aoi saja sudah cukup,” ucap dengan
suara kecil sambil menundukkan kepalanya.
“Eh?” Kagura kembali mendekat pada Sora seakan menyuruh
Sora untuk mengulangi apa yang ia katakan.
“Selama Aoi di sampingku, aku tidak membutuhkan siapa –
siapa lagi. Baik itu Papa ataupun Mama,”
“_____” Kagura membisu. Ia membutuhkan waktu untuk
mencerna pernyataan Sora. “Hmm... Jadi maksudmu itu kau hanya ingin berdua
bersama Aoi, begitu?” bisiknya pada Sora.
“Bukan! Bukan!” Sora menggelengkan kepalanya dengan
panik.
“Iya iya, aku mengerti,” Kagura berdiri meluruskan
punggungnya. “Tapi seperti yang aku jelaskan tadi, aku melarang kalian berbuat
mesum di apartemenku!” Kagura mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan
wajah Sora.
“Ugh...”
“Yah sudah lebih baik kalian cepat istirahat, sampai
jumpa besok pagi,” Kagura melambaikan tangannya sambil berjalan meninggalkan
Aoi dan Sora.
“Sora, tadi kalian bisik – bisik ngomongin apa?” tanya
Aoi penasaran.
“Bukan apa – apa,” Sora memalingkan wajahnya.
“____”
***
“Ah... akhirnya sampai juga...”
Setelah obrolan yang cukup panjang, akhirnya mereka masuk
ke dalam kamar apartemen.
Aoi merentangkan kedua tangannya.
“... Seharusnya kita bisa sampai lebih cepat...” ucap
Sora sambil melihat jam dinding di depannya.
“Baik, baik, ini salahku. Bukankah aku sudah minta maaf
tadi?”
“____” Tanpa menghiraukan Aoi, Sora langsung mencopot
sepatunya dan berjalan ke arah ruang utama.
Kamar yang mereka tempati cukup besar jika digolongkan
sebagai asrama sekolah. Selain ada ruang tamu, ada juga kamar mandi, kamar
tidur, bahkan dapur. Jika mengingat semua itu mereka dapatkan secara cuma –
cuma, pastinya ada sesuatu dibalik semua itu.
“Kau tidak mau menyapa orang di kamar sebelah dulu, Sora?”
“Eh?Kita kan baru saja sampai,”
“Iya sih, tapi ada baiknya kalau kita menyapa mereka
dulu,” Aoi berusaha untuk memujuk Sora.
“Tidak, terima kasih...” Tanpa memperdulikan ajakan Aoi,
Sora berjalan menuju arah kamar mandi.
“Sora, sebelum kamar mandi, ayo beres – beres kamar dulu!”
“Eh??”
“Bukan ‘eh’, nanti setelah selesai mandi kau pasti tidak
mau membantuku kan?”
“Baik – baik!” Dengan malas Sora mengangkut barang
bawaannya ke kamar tidur. Kamar tidur letaknya berada tepat di sebelah ruang
tamu. Lalu jika kau berjalan lurus melewati kamar tidur, kau akan mendapati
kamar mandi di sana. “Umm... Aoi...”
“Hmm? Ada apa?” Aoi berjalan menghampiri Sora.
“Kau sudah mengatakan kalau kita berdua kan?”
“Hmm.. sepertinya begitu...”
“Sepertinya?”
“Memangnya kenapa?”
“Tuh, lihat...” Sora menunjuk ke arah dalam kamar tidur.
Kamar tidur tersebut cukup luas, bahkan hampir seluas ruang tamu. Tapi yang
ingin diperlihatkan oleh Sora pada Aoi bukanlah luas kamar tersebut, tapi kasur
yang hanya ada 1 buah saja.
“Eh? Cuma 1!?”
Sora mengangguk.
Aoi menompangkan dagunya di tangan kanannya. “Hmm...
lebih kau saja yang tidur di sana, Sora. Biar aku tidur di ruang tamu saja. Besok
mungkin aku akan membeli kasur lipat yang murah di supermarket.”
“.... Kasurnya cukup besar kok untuk kita berdua...”
“Memang sih, tapi...”
Wajah Sora mulai memerah. “Ki... kita tidur bersama
saja...”
“Kau serius?”
Sora mengangguk sambil berusaha menutupi wajahnya.
Mereka berdua memang bersaudara, tapi dengan umur mereka
sekarang rasanya tidak pantas kalau mereka masih tidur bersama. Namun, Aoi
tampaknya tidak bisa menolak ajakan Sora.
“... Baiklah, kalau kau tidak keberatan...”
“____” Sora membalikkan badannya. “Ayo, katanya mau beres
– beres!?”
“Baik – baik...”
Setelah lewat beberapa jam, akhirnya mereka berdua
selesai membereskan barang mereka. Kamar yang tadinya masih tampak kacau balau
pun akhirnya kita terlihat rapi.
“Yak, selebihnya kita lanjutkan besok saja ya.”
Sora mengangguk.
“Kau mau mandi kan? Duluan saja, aku akan beres – beres
dulu sebentar.”
“Umm... Aoi...”
“Hmm? Apa? Kau tidak jadi pergi mandi?”
“____” Sora terdiam sambil menundukkan kepalanya,
menutupi sebagian wajahnya dengan poni rambutnya.
“Ada apa, Sora?” Aoi berjalan menghampiri Sora.
“Umm....” Sora tetap menggumam, ia tampak tidak bisa
mengutarakan sesuatu yang ia ingin ucapkan.
“Sora?”
“Setelah sekian lama...”
“Hm?”
“Bagaimana kalau kita mandi bersama?” ajak Sora sambil
menatap mata Aoi. Wajahnya kini berwarna merah seperti layaknya tomat.
“... EH!?” Aoi terkejut. Ia tidak pernah menyangka bahwa
Sora akan berkata seperti itu. Jangankan mengajaknya mandi mandi bersama,
bahkan ketika Aoi mengajaknya berjalan bersama pun biasanya Sora akan menolaknya.
“Kau serius mengatakan itu!?” Aoi ingin memastikan kalau
ia tidak salah mendengar.
“Memang kenapa?”
“Hmm... aku tidak menyangka kalau kalimat itu akan keluar
dari mulut...”
“... Tidak sopan...”
“Ya habisnya itu berarti kita akan saling bertelanjang
badan bukan!?”
“... Jorok...”
“EH!?”
“Memang siapa yang menyuruhmu masuk ke kamar mandi juga?”
Sora menyilangkan tangannya di atas dada, memandang Aoi dengan tatapan sinis.
“... Eh?”
“Aoi, kau masih di sana?”
“Ya...”
“Jangan pergi dari situ!”
“Iya iya!”
Mandi bersama...
Dalam pikiran Sora, mandi bersama berarti Aoi menjaga di
luar sedangkan Sora lah yang mandi. Berada di tempat baru membuat Sora tidak
nyaman untuk mandi sendirian, maka dari itu ia menyuruh Aoi untuk berjaga –
jaga di luar.
Suara guyuran air terdengar menembus dinding kamar mandi
yang tipis. Belum lagi bayangan tubuh Sora yang terpantul di pintu kaca kamar
mandi. Seiring warna wajahnya yang semakin memerah, detak jantung Aoi pun makin
bertambah cepat.
“Ini berbahaya...”
“Apanya berbahaya?” Sora menyahut dari dalam kamar mandi.
Tampaknya di antaran suara guyuran air, ia masih mendengar apa yang Aoi
katakan.
“Ah, bukan! Bukan apa – apa!” Aoi hanya mengelak. Ia
tidak mungkin mengatakan kalau ia sempat mempunyai pikiran mesum pada Sora.
“Kau... barusan memikirkan sesuatu yang mesum ya?”
“Eh? Itu tidak mungkin,” Aoi kembali mengelak. Tampaknya
Aoi bukanlah tipe orang yang tidak pandai menyembunyikan sesuatu.
“.... Tidak sopan...”
“Hah? Sebenarnya kau itu ingin aku berpikiran mesum atau
apa sih?” ucap Aoi dengan nada menantang.
“Bo.... Bodoh!!” Dengan tanpa sadar Sora membuka pintu
kamar mandi, lalu menyiram Aoi dengan air digayung sehingga membuatnya basah
kuyup.
“Eh...?”
“Aoi... Maafkan aku...”
“Ya ya,” Aoi mengeringkan rambutnya dengan handuk tangan.
Ia baru saja selesai mandi setelah bergantian dengan Sora yang sebelumnya
menyiramnya dengan air.
“Kau... marah?”
“Tidak kok, tenang saja,” ucap Aoi sambil mengelus – elus
rambut Sora.
“Fuh...” Sora
menghela nafas.
“Ngomong – ngomong, Sora, pakaianmu itu...”
Aoi melirik piyama membungkus badan Sora yang kurus. Piyama
panjang berwarna pink dengan corak bergambar anak burung. Aoi membelikan piyama
itu untuk Sora sebulan lalu, tapi baru kali ini Aoi melihat Sora memakainya.
“K... kau sudah bersusah payah membelikannya untukku,
jadi aku hanya tidak enak saja kalau gak pernah memakainya,”
“Ohh... aku kira seleramu akhirnya berubah,”
“Itu tidak mungkinlah! Lagian, kau kan sudah tahu aku
lebih suka kucing dari pada burung!”
“Iya iya, aku lupa. Tapi Sora...,”
“Hmmm?”
“Baju itu... pantas untukmu...” ucap Aoi sambil melirik
Sora mulai dari ujung kaki sampai kepala.
Badannya yang langsing, bola matanya yang berwarna biru,
serta rambut putihnya yang selaras dengan warna piyamanya, entah mengapa
membuat Sora tampak lebih erotis di mata Aoi. Sehingga, sedari tadi Aoi hanya
bisa memalingkan pandangan matanya dari Sora agar ia tidak berpikiran yang
tidak – tidak.
“Terima kasih... Kak...” ucapnya dengan suara kecil.
“Eh?”
Sora selama ini tidak pernah memanggil Aoi dengan sebutan
kakak. Biasanya Sora hanya memanggilnya dengan sebutan “Aoi”. Karena itulah Aoi
sedikit tidak percaya kalau ia mendengar Sora memanggilnya dengan sebutan “Kakak”.
“Bukan apa – apa!” Dengan kedua tangannya Sora menutupi rona wajahnya memerah.
Mandi setelah berbenah, membuat rasa kantuk mereka
bertambah sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk segera tidur.
Di kamar tidur, terdapat sebuah kasur besar di tengah –
tengah ruangan. Di kasur tersebut lah mereka berdua akan tidur bersama. Dengan
sebuah cermin besar yang tergantung di lemari yang terletak di seberang kasur,
menimbulkan perasaan aneh pada mereka berdua.
“Nng.... kamu serius mau tidur bersamaku, Sora?”
“Apa aku perlu untuk mengulanginya lagi?”
“Tidak, sudah cukup” jawab Aoi sambil mengangkat tangan
kanannya memberikan isyarat untuk berhenti.
“Dan lagi... ini bukan pertama kalinya kan kita tidur
bersama...” kata Sora sambil menundukkan kepalanya.
Untuk sesaat suasana hening tercipta di antara mereka
berdua. Mereka berdua teringat akan kejadian di masa lalu. Saat – saat di mana
mereka berdua baru mengenal satu sama lain 3 tahun yang lalu. Bagi orang lain,
mungkin kejadian itu hanyalah kejadian biasa. Namun, bagi mereka berdua itulah adalah momen paling spesial.
“Aoi... kau masih ingat dengan kejadian waktu itu kan?”
Sora memecahkan kesunyian di antara mereka.
“Tentu saja, itu pertama kalinya aku melihatmu ketakutan,”
ucap Aoi dengan senyum dibibirnya.
“... Bodoh,” Sora membalasnya dengan wajah cemberut.
“Bercanda, aku masih ingat kok!” ucap Aoi sambil tertawa.
“____”
“Sora, kau marah kepadaku lagi?”
“....?” Sora memiringkan kepalanya, ia tampak kebingungan
dengan pertanyaan Aoi. “Marah?”
“Iya, setiap kau marah padaku, bukankah kau akan selalu
diam menutup mulutmu? Buktinya di kereta tadi kau hanya diam terus meskipun aku
ajak bicara,”
“... Kereta?”
“Iya, di kereta tadi. Aku pikir kau marah karena aku tiba
– tiba mengajakmu untuk pindah rumah?”
“.... Tampaknya kau salah paham, Aoi,”
“Eh?”
“Hmm... Aku tidak akan memberitahukanmu alasan mengapa
aku diam sedari tadi, tapi...”
“Tapi...?” Bergantian kini Aoi yang memiringkan
kepalanya.
“Umm... lebih baik tidak usah deh,” ucap Sora sambil
membalikkan badannya. Beda dengan sebelumnya, kali ini Sora tampak begitu gembira.
“Eh!? Kau kan janji akan memberitahuku?”
“Aku tidak ingat pernah berjanji,” bantah Sora sambil
menjulurkan lidahnya. “Aku hanya ingin mengatakan kalau aku tidak marah padamu
sedari tadi,” lanjutnya lagi.
“Lah? Terus?”
“Rahasia,” ucap Sora dengan senyum di bibirnya. Berbeda
dengan saat Sora tersenyum pada Kagura, kini senyumnya tampak begitu bahagia. Entah
apa alasan yang membuat moodnya membaik. “Oh
iya, Aoi.” Sora membalikkan badannya kembali.
“Ada apa?”
“Kau belum menjelaskan padaku dari mana kau mendapatkan
tempat tinggal ini hingga sekolah kita nanti. Bagaimana kau bisa
mendapatkannya? Aku juga tidak mengingat pernah melihatmu mengurusi surat
pindah Sekolah. Belum lagi, kau juga mengatakan kalau aku juga akan sekolah di
Akademi Tresia, padahal aku belum mengambil ujian di sekolah mana pun,”
“Err... soal itu, berjanjilah sebelumnya kalau kau tidak
akan marah padaku,”
“Baik aku berjanji,” Sora dengan tegas menjawabnnya.
“.... Baiklah, tunggu sebentar,” Aoi bergerak menuju
tumpukan tas yang berada di sudut ruangan. Di sana ia mengambil sebuah buku
berwarna biru dari salah satu kantong tas yang paling besar. Aoi lalu
membalikkan halaman buku tersebut dengan cepat seolah hendak menjadi sesuatu. Hingga
akhirnya ia menemukan sebuah amplop merah dengan cap berlambang kunci di
permukaan amplop. “Ini dia...” Aoi menyerahkan amplop merah dengan cap
berlambang kunci tersebut pada Sora.
Setelah menerimanya dengan tangan sendiri, Sora melirik
setiap sudut permukaan amplop tersebut, tapi ia tidak menemukan siapa dan dari
mana pengirim amplop surat tersebut. Yang hanya ia ketahui hanyalah cap
berlambang kunci. Tampaknya cap berlambang kunci itu adalah lambang dari suatu
organisasi.
Setelah puas menilik permukaan amplop itu, Sora beralih
ke isi amplop itu. Ia lalu menemukan secarik kertas dan 2 kartu identitas
dengan nama mereka berdua di sana. Sora lalu memegang 2 kartu identitas
tersebut dengan tangan kanannya.
“Kartu? Kartu sekolah?” Sora menyimpulkan kartu tersebut
adalah kartu sekolah setelah melihat nama “Akademi Tresia” terpampang dibagian
atas kartu tersebut.
“Iya, memang tidak ada foto kita berdua, tapi nama yang
tertera di sana jelas – jelas nama kita berdua kan. Dengan itu berarti kita
sudah menjadi murid akademi Tresia,” ucap Aoi sambil menunjuk pada kartu di
tangan Sora.
“Hmm... tapi sejak kapan?”
“Tidak tahu,”
“_____” Sora menggembungkan pipinya.
Setelah menaruh kartu tersebut di atas meja dekat kasur,
ia kini berganti membuka secarik kertas yang ada di dalam amplop. Di kertas
tersebut tertulis pesan singkat yang tampaknya untuk mereka berdua. Sora mulai
membaca isi surat tersebut,
Saya menawarkan
kalian berdua,Tuan Kanzaki Aoi dan Kanzaki Sora untuk tinggal di kota Tresia.
Untuk tempat tinggal dan transportasi jangan khawatir, karena saya telah
mengurusnya. Beserta surat ini telah saya lampirkan tiket kereta dan alamat
tempat kalian akan tinggal. Ini adalah pilihan kalian, apakah kalian ingin
mengambil kembali ingatan kalian yang telah hilang atau tidak.
Sakuya
“Sakuya? Perempuan ya?” Sora menatap Aoi soal menatap
seorang hidung belang.
“... Kenapa kau malah memperhatikan yang itu....”
“Bercanda,” Senyum kini kembali berada dibibirnya. Sora
lalu melanjutkan, “Dari mana dia tahu nama kita berdua?” tanya Sora sambil
duduk di pinggir kasur.
“Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa kita kehilangan
ingatan,” sambung Aoi sambil duduk di sisi berlawanan dari Sora.
“Benar juga...” Sora nampak sedikit terkejut. “Apakah
mungkin dia pernah mengenal kita sebelumnya? Sehingga ia juga tahu kalau kita
kehilangan ingatan...” lanjutnya lagi.
“Mungkin saja, tapi orang tua kita tidak pernah menceritakan
soal ini sebelumnya pada kita berdua,”
“Tentu saja... mereka kan bukan orang tua kita yang
sebenarnya...” Sora menyandarkan punggungnya ke punggung Aoi. Sambil menatap ke
langit – langit Sora kembali berkata, “Maka dari itu aku tidak pernah
bergantung pada mereka...”
“Ya, aku tahu itu... tapi setidaknya kita harus berterima
kasih pada mereka, karena mereka lah kita berdua masih bisa bersama, bukan?”
“... Soal itu...” Sora memeluk kedua lututnya,
merenungkan sesuatu. “Baiklah jika kau yang berkata begitu...”
Aoi dan Sora mengalami hilang ingatan 3 tahun lalu,
tepatnya disaat “Badai Archania” melanda kota Asuka. Mereka berdua selamat
dalam bencana itu, namun mereka kehilangan ingatan mereka. Dokter rumah sakit
tempat mereka dirawat mengatakan kalau mereka kehilangan ingatan akibat shock. Mereka yang tidak memiliki kartu
identitas, akhirnya diadopsi oleh pengantin muda yang tidak memiliki anak dan
mereka pun diberikan nama.
3 tahun telah berlalu, namun tidak satupun serpihan
ingatan mereka yang kembali. Mereka hanya mengetahui kalau mereka berdua adalah
saudara, itu dari tes DNA yang dilakukan pada saat mereka masih dirawat rumah
sakit.
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, mereka akhirnya
mengetahui bahwa orang tua mereka kini bukanlah orang tua mereka sebenarnya.
Orang yang pertama kali menyadarinya adalah Sora. Sora secara tidak sengaja
menemukan surat tanda adopsi yang disembunyikan oleh orang tua mereka di dalam
kardus yang berada di dalam gudang. Di sana tertulis kalau mereka berdua adalah
anak adopsi, tapi kebenaran kalau mereka bersaudara tidak berubah.
“Umm... Aoi,”
“Ada apa?”
“Apa kau akan menemui orang itu?”
“Sakuya? Karena kita sudah menerima tawarannya, tidak ada
alasan bagi kita untuk tidak bertemu dengannya kan?”
“... Bagaimana kalau ia berbohong?”
“____”
Sora menghela nafas, “Kau tidak memikirkan kemungkinan
itu ya...”
“Bukan seperti itu... Bagiku masalah apakah ia berbohong
atau tidak, itu tidak masalah...”
“Eh?” Sora menengok ke arah Aoi.
“Selama kita bersama, aku rasa itu tidak masalah bukan?”
Sora tersenyum mendengar jawaban Aoi, ia lalu mengangguk
pertanda ia setuju dengan pendapat Aoi.
“Ngomong – ngomong, Sora,” Aoi ikut menengok ke arah
Sora.
“Ada apa, Aoi?”
“Apa yang akan kau lakukan bila ingatanmu kembali?”
“Tidak tahu,” jawab Sora dengan tegas.
“Eh?”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Hmm... Aku juga tidak tahu,”
“Pfft,” Sora menahan tawanya. “Kau sendiri tidak tahu,
ngapain tanya ke aku?”
“Ya habisnya aku sendiri juga tidak mengerti, tapi...”
“Tapi?”
“Aku merasa telah melakukan sesuatu yang tidak bisa
dimaafkan di masa lalu,”
“____” Sora membaringkan tubuhnya di atas kasur, ia lalu
membalikkan tubuhnya ke kanan, sehingga ia dapat melihat wajah Aoi. “Kau
terlalu berprasangka buruk, apa yang bisa diperbuat oleh anak kecil macam kita?”
“Iya sih, tapi entah aku tetap merasa telah berbuat
sesuatu...” Aoi menundukkan kepalanya, tampak ia sedang merenungkan sesuatu. “Setiap
malam aku bermimpi...”
“Itu sesuatu yang wajar sebagai manusia kan?”
“Mimpi buruk...”
“Seperti apa?”
“Kau ingin aku menceritakannya?”
“Kalau kau tidak keberatan...”
“Tidak apa – apa, mungkin memang lebih baik aku
menceritakannya padamu, Sora.” ucap Aoi sambil melirik Sora yang berbaring di
atas tempat tidur.
“Tapi sebelum itu...” Dengan cepat Sora menarik lengan
baju Aoi, dan membuatnya terbaring di samping Sora. “Dengan begini kan aku bisa
lebih mendengarkan cerita mu lebih jelas lagi, bukan?”
“... Tapi kau bisa mengatakannya terlebih dahulu padaku
kan...”
“Kalau tidak begini, kau tidak akan mau bukan?”
“____” Aoi akhirnya menyerah dan akhirnya ia mulai
bercerita tentang mimpi buruknya setiap malam...
***
Bulan dan bintang terlihat di langit, itu berarti hari
sudah malam. Namun, tidak seperti malam yang gelap, di sana sangat terang
sekali seolah – olah masih siang hari. Cahaya dari lautan api lah yang membuat
suasana di tempat itu nampak seperti siang hari.
Ya, lautan api... Di sejauh mataku memandang, yang aku
lihat hanyalah bangunan – bangunan yang telah diselimuti oleh lautan api. Bangunan
yang diselimuti oleh api tersebut meleleh dengan cepatnya.
Api itu tidak normal. Memang aku belum pernah memegang
api sebelumnya, tapi untuk melelehkan sebuah bangunan, pastilah suhu api
tersebut sangatlah tinggi. Bahkan bangunan setinggi 10 lantai pun meleleh dalam
waktu hitungan menit.
Apa yang sebenarnya telah terjadi di tempat itu? Apakah letusan gununglah yang menyebabkan
lautan api tersebut? Tidak, karena aku tidak sedikitpun merasakan ada abu
vulkanik yang turun dari langit.
Jika aku menutup mataku, aku dapat mendengar teriakan
orang meminta tolong. Tampaknya seluruh penduduk kota tersebut tidak dapat
melarikan diri. Mendengarkan teriakan mereka, apa yang aku lakukan? Aku tidak
dapat melakukan apapun. Aku bahkan tidak tahu asal suara itu. Suara itu hanya
terus terngiang di telingaku.
Anehnya aku tidak merasakan ketakutan sedikitpun melihat
semua itu. Semua tampak biasa – biasa saja. Kemudian, begitu aku melihat sosok
tubuhku terpantul pada sebuah kaca jendela di puing – puing bangunan yang
tersisa.
Sosok diriku yang terpantul di sana tampak jauh berbeda
dengan diriku yang sekarang. Selain usia yang tampaknya jauh lebih muda, diriku
yang terpantul di sana sama sekali tidak memiliki ekspresi. Padahal darah segar
hampir membungkus seluruh tubuhnya. Jubah hitamnya yang berlumuran darah,
ekspresi wajah yang seolah – olah menujukkan tidak ada sesuatu yang terjadi,
membuat diriku bagaikan sesosok Dewa Kematian.
Apakah ini masa
laluku?
Pertanyaan itu tidak bisa lepas dari pikiranku...
“Lalu, apakah bagaimana denganku? Apakah aku ada di sana?”
Setelah Aoi selesai bercerita, Sora langsung mengajukan pertanyaan padanya.
“Hmm... entahlah... seperti yang aku katakan tadi, aku
tidak melihat ada orang lain di sana kecuali diriku yang terpantul di kaca
jendela.”
“Berarti itu bukan masa lalumu, bodoh,” Sora menyentuh
pipi Aoi dengan jari telunjuknya.
“Eh? Kenapa kau berpendapat seperti itu?”
“Mudah saja, karena aku tidak mungkin jauh darimu,
benarkan?”
“Hmm... aku rasa ada benarnya juga...” Aoi memandang ke
arah langit – langit kamar, memikirkan apa yang Sora katakan. “Tetapi,
bagaimana kalau pada saat itu ternyata kau ketakutan, sehingga kau kabur?”
“Sudah kubilang itu tidak mungkin, kau terlalu berlebihan
memikirkannya. Lagian jika benar ada kota yang terkepung oleh lautan api, pasti
sudah menjadi berita besar, kan?”
“Hmm... benar juga...”
“____”
“Aoi...” Sora memanggil Aoi dengan suara pelan.
“Ada apa?”
“Minggu depan... kau tidak lupa, kan?”
“Tentu saja. Kali ini kau ingin ke mana?”
“Tempat biasanya...”
“..... Rasanya itu tidak mungkin,”
“Eh!?” Sora bangkit dari tidurnya, lalu menoleh ke arah
Aoi dengan ekspresi wajahnya yang terkejut.
“Masalahnya, kita kan sudah tidak di kota Asuka lagi, kau
lupa?”
“_____”
Sora menghela nafas, ia tampak begitu kecewa.
Minggu depan adalah hari spesial bagi mereka berdua. Itu
adalah hari di mana mereka berdua baru bertemu. Biasanya pada hari itu, Aoi
mengajak Sora untuk pergi ke pantai tempat mereka berdua ditemukan. Memang
seharusnya tempat itu akan menimbulkan trauma mendalam bagi mereka, tapi tempat
itu kini justru menjadi tempat yang spesial bagi mereka.
Di pantai tersebut sudah tidak ada apa – apa lagi.
Bangunan yang dulunya berdiri dengan tegarnya, kini telah luluh lantak dengan
tanah. Sampai sekarang pun reruntuhan bangunan tersebut masih ada. Orang –
orang sekitar tidak membereskannya untuk mengenang peristiwa yang terjadi
beberapa tahun silam itu.
“Aku lihat di depan apartemen ini ada sebuah taman, bagaimana
kalau kita ke sana saja?”
“____” Sora tidak menjawab dan hanya memasang muka
cemberutnya.
“Ayolah, untuk kali ini saja. Tahun depan, baru kita ke
pantai itu lagi, bagaimana?”
“Ugh... Baiklah, tapi kali ini saja! Tapi...”
“Tapi apa lagi?”
“Berjanjilah kalau
hanya kita berdua saja...” gumam Sora sambil berusaha menyembunyikan raut
wajahnya dengan poni rambut miliknya.
“Te... Tentu!” Aoi menjawabnya dengan nada bicara yang
tampak ragu – ragu.
Taman di depan apartemen mereka memang tidak sebesar
taman ria namun, taman tersebut tidak pernah sepi. Karena pemandangan indahnya,
banyak orang – orang memanfaatkan taman tersebut untuk bersantai, berkencan,
bermain, bahkan untuk melukis. Mengharapkan taman tersebut sepi akan pengunjung
rasanya sangat mustahil. Aoi tahu betul akan hal tersebut, namun ia tidak ingin
mengecewakan Sora lebih jauh lagi.
Tak lama setelah itu Sora lalu mencubit pipi Aoi dengan
keras. “Argh, Apa yang kau lakukan!?”
“Bukan apa – apa!” Sora langsung membalikkan badannya,
tidur membelakangi Aoi. “Sampai besok...”
“... Sampai besok,”
“.... Haruskah kau memberi salam dengan mencubitku
seperti ini!?”
Selang beberapa menit kemudian, mereka berdua akhirnya
memasuki alam tidur. Meninggalkan semua masalah yang ada, dan bersiap – siap
untuk menghadapi keesokan harinya.
***
Pukul 11.00 malam hari, Aoi terbangun dari tidurnya. Tidur
satu ranjang dengan anak perempuan tampak tidak dapat membuatnya tidur dengan
nyenyak. Walaupun mereka berdua kakak beradik, dengan umur mereka yang sekarang
sudah sewajarnya bila mereka tidak lagi tidur dalam satu ranjang.
Aoi yang terbangun di tengah-tengah tidurnya, akhirnya
memutuskan untuk pergi ke luar beranda apartemen untuk mencari angin segar
malam hari. Dengan angin malam yang dingin, Aoi berharap ia akan kembali
mengantuk sehingga dapat kembali tidur.
Aoi menyandarkan bagian tubuhnya pada pagar pembatas yang
berada tepat di depan pintu kamarnya, sambil melihat pemandangan kota pada
malam hari. Sejauh matanya memandang, ia sama sekali tidak melihat ada
tanda-tanda kehidupan di kota tersebut. Suasana malam hari di kota Tresia tidak
ubahnya kota mati.
“Aneh... apa orang di kota ini tidak pernah bangun malam
hari ya?” Aoi bergumam sendirian.
Jangankan manusia, ia bahkan tidak melihat satupun nyamuk
yang terbang seperti saat dia masih di kota Asuka. Gambaran kota Tresia dan
kota Asuka dalam pikiran Aoi saat ini bagaikan dua dunia yang berbeda.
Aoi mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Kertas
itu adalah surat yang ia perlihatkan sebelumnya pada Sora. Sebuah surat berasal
dari orang tidak dikenal bernama Sakuya.
“Sakuya?” Aoi mendongak ke langit sambil berusaha
memanggil memori yang telah lama terkubur. “Sepertinya nama ini tidak asing
bagiku.....”
Dalam benak pikirannya, Aoi yakin pernah bertemu dengan
orang itu sebelumnya, dan kejadian itu baru saja terjadi.
Dengan raut wajah yang begitu serius, Aoi mencoba
mengingat kembali kapan terakhir kali ia bertemu dengan seseorang bernama
Sakuya. Nama itu tidaklah asing baginya, ia merasakan kalau orang tersebut
adalah orang yang dekat dengannya.
“Argh! Aku tidak ingat!!!” Setelah beberapa menit
berpikir, akhirnya Aoi menyerah. Ia kemudian menompangkan dagu pada telapak
tangan kanannya, “Semakin aku berusaha mengingatnya, entah mengapa rasanya aku
menjadi kesal karena tidak ada sedikitpun petunjuk yang muncul...”
*Tang* *Tang* Terdengar suara langkah kaki menaiki anak
tangga yang terbuat dari besi. Suasa malam yang amat sepi pada saat itu,
membuat Aoi dapat mendengar suara tersebut dengan sangat jelas. Ia pun otomatis
mengalihkan pandangan matanya pada arah lorong menuju tangga untuk turun ke
lantai satu.
Memang
Aoi baru mendengarkannya satu kali, tapi ia yakin kalau suara langkah kaki
tersebut bukanlah milik Kagura. Suara langkah kaki tersebut terdengar begitu
ringan, tidak seperti milik Kagura yang seorang ahli bela diri.
Tak lama pemilik suara langkah kaki tersebut akhirnya
terlihat, seorang perempuan yang nampaknya seumuran dengan Aoi. Penampilan perempuan
tersebut begitu menarik perhatian Aoi.
Perempuan itu memiliki bola mata yang berwarna sama
dengan Aoi, merah, seperti Batu Ruby. Rambut hitamnya ia kepang dua dengan pita
berwarna putih. Di tengah hembusan angin malam yang begitu dingin ini, perempuan
tersebut mengenakan gaun panjang yang memperlihatkan kedua belah pundaknya,
seolah ia sama sekali tidak merasakan kedinginan.
Gaun yang ia kenakan dihiasi oleh renda dan beberapa
aksesoris tambahan. Seluruhnya berwarna putih, mengingatkan akan cahaya bulan,
yang didukung dengan warna hitam gelap bagaikan langit di malam hari.
Menyadari kalau Aoi sedang melihatnya, perempuan tersebut
tersenyum sambil memberi salam, “Selamat malam, Tuan Aoi.”
“Eh?” Perempuan tak dikenal tiba-tiba memanggilnya dengan
sebutan ‘Tuan’, membuat Aoi merasa sedikit canggung. “Kau... sia—“
“Sakuya.”
Sebelum Aoi sempat menyelesaikan kalimatnya, Sakuya telah
terlebih dahulu menjawab pertanyaannya.
“.....tunggu dulu!? Jadi kau orang yang bernama Sakuya!?”
Aoi teringat kembali dengan sebuah nama yang menempel dalam benak pikirannya
beberapa saat lalu.
Sakuya kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Dengan nada bicara yang terdengar begitu lembut ia menjawab, “Benar sekali,
Tuan Aoi.”
Orang yang tadi ia cari kini telah berada tepat di depan
matanya. Sudah banyak sekali pertanyaan yang ingin Aoi tanyakan pada Sakuya. Namun
akhirnya dari sekian banyaknya pertanyaan tersebut, ia memilih satu.
“Siapa kau?”
“....Siapa? Sakuya.” Sakuya kembali tersenyum.
“Bu...bukan itu, maksudku kau itu siapa?”
“Siapa? Bukankah Tuan sudah mengetahui siapa Sakuya?”
Sakuya berjalan perlahan ke tempat Aoi berdiri.
“Jangan bercanda! Kau tahu kan kalau aku kehilangan
ingatan?”
“Tentu! Jika tidak, Sakuya tidak akan mengirimkan surat
itu.”
“____” Aoi tampak sedikit kesal karena Sakuya terus
menerus memutar balikkan pertanyaannya.
Sambil sedikit tertawa, Sakuya kembali berkata, “Maafkan
Sakuya, Tuan Aoi. Namun untuk pertanyaan itu... Sakuya belum dapat menjawabnya.
Bukankah seharusnya ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu, Tuan Aoi?”
“.....kau tahu cara mengembalikan ingatan kami?” Aoi
menatap Sakuya dengan tatapan mata serius.
“Anggap saja Sakuya mengetahui kunci untuk membuka
kembali pintu ingatan itu, Tuan Aoi.”
“Kalau begitu, bisakah kau memberitahukannya padaku
sekarang, Sakuya?”
Sakuya kini menggelengkan kepalanya.
“Eh?”
Setelah berada tepat di depan Aoi, Sakuya lalu berlutut
seakan meminta maaf pada Aoi. “Sakuya
hanyalah pemandu Tuan Aoi. Sakuya hanya bertugas untuk mengarahkan agar Tuan
Aoi datang ke kota ini, Kota Tresia...”
“Ke... kenapa kau sampai berlutut seperti ini!?” Melihat
Sakuya berlutut di hadapannya, seperti seorang pelayan berlutut pada
majikannya, membuat Aoi kembali merasa canggung. Ia kemudian menawarkan tangan
kanannya pada Sakuya.
Sakuya menerima tangan tersebut dan kembali berdiri. Ia
lalu mengibaskan tangannya untuk membersihkan debu yang menempel di gaunnya.
“Jadi ingatanku berada di suatu tempat di kota ini,
begitu maksudmu, Sakuya?” Aoi mencoba menyambung kembali percakapan mereka.
“Ya.... Pilihan Tuan untuk tinggal di kota ini sudah
merupakan salah satu kunci untuk mengambil kembali ingatan Tuan.” Sakuya
kembali tersenyum, akan tetapi senyumannya kali ini tampak terlihat sedih.
Sakuya lalu menggenggam pergelangan tangan kanannya dengan tangan kirinya. “Tuan
Aoi... Apakah Tuan benar-benar berharap untuk mengambil kembali ingatan Tuan?”
“_____” Aoi terdiam untuk sejenak. “Mungkin aneh kalau
aku menjawab begini, tapi aku tidak begitu berharap untuk mendapatkan ingatanku
kembali, hanya saja...”
“Hanya saja?”
Aoi menundukkan kepalanya. “Menyebalkan bukan bila orang
yang sebelumnya kita kenal, kini menjadi orang asing?”
“Tuan...”
“Sakuya, apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Di suatu
tempat?” Aoi kembali menatap mata Sakuya.
“____” Kini balik Sakuya yang terdiam. Ia menundukkan
kepalanya, menutupi sebagian wajahnya dengan poni rambutnya.
Suasana kota Tresia yang tadinya tampak sedikit hidup
dengan percakapan mereka berdua, kini kembali hening tanpa terdengar suara
sedikitpun. Kota Tresia pada malam itu sudah tidak ubahnya kota mati...
Bagian
3
“Yume?” Akari, perempuan dengan ikatan perban putih yang
menutupi kedua matanya, memanggil anak
perempuan yang duduk berhadapan dengannya di meja berbentuk persegi panjang.
“Apa?”
“Ah tidak, aku kira kau sudah tertidur,” ucap Akari
sambil tertawa kecil.
“....mana mungkin ada orang yang tidur, sementara
tangannya sedang bergerak mengecek satu persatu tumpukan dokumen yang sudah
kayak gunung seperti ini?”
“Ah benar juga!” Akari memukulkan genggaman tangan kiri
ke telapak tangan kanannya.
“Dasar, inilah akibatnya kalau kau menunda-nunda
pekerjaanmu, Ketua Rune!” Yume tampak sedikit kesal, karena pada malam hari itu
ia masih harus tetap tinggal di ruangan Rune bersama Akari untuk menyelesaikan
tumpukkan dokumen yang ada.
“Eh? Bukannya aku menunda! Aku kan juga harus mengurus
keperluan untuk konser besok, Nona Yume!”
“....berhentilah memanggilku dengan sebutan itu, atau aku
akan menjahit mulutmu itu!” ucap Yume sambil menyeringai menatap Akari.
“Ahhh... Yume tidak seru nih...” ucap Akari dengan
perasaan kecewa.
“Bagaimana dengan kesiapan konser besok, Akari?”
“Tentu saja sempurna! Aku bahkan siap untuk menyanyikan
100 lagu!” ucap Akari sambil membentuk tanda V dengan jari tangannya.
“....kau hanya punya jatah waktu 30 menit.”
Mendengar ucapan Yume itu, Akari langsung menjatuhkan
bahunya.
“Ahhh... tidak seru...”
“Itu sudah lebih dari cukup, kan?”
“Kau sama sekali tidak mengerti, Nona Yume,” Tiba-tiba Akari
bangun dari tempat duduknya. Ia lalu mengambil sebuah sapu ijuk yang berada di
pojok ruangan, dan membawanya seolah-olah sedang membawa standing microphone. Sambil meletakkan tangan kanan di atas dadanya
ia kembali berkata, “Sebagai seorang ‘Diva’, sudah sewajarnya aku menjawab
dukungan para penggemarku. Karena itulah, waktu 30 menit itu tidak akan cukup,
Nona Yume!”
“Yak, kalau begitu 15 menit...” balas Yume dengan santai.
“Aaaaa Yume, maafkan aku!” Akari mempertemukan kedua
telapak tangannya, ia memohon maaf pada Yume.
“Iya iya, aku cuma bercanda. 1 jam, itu cukupkan?” jawab Yume
sambil tersenyum.
“Terima kasih, Yume, kau baik sekali!” ucap Akari sambil
memeluk erat Yume yang tidak lebih tinggi darinya.
“Sudah, lepaskan!” Yume berusaha melepaskan diri dari
pelukan Akari. Namun karena ia kalah dalam soal tenaga, akhirnya Yume pun
menyerah.
“Yume, ngomong-ngomong kau suka dengan nyanyianku kan?”
tanya Akari sambil mengelus-elus rambut Yume yang berwarna perak. Selain itu,
ia juga mengelus-eluskan pipinya pada Yume, seolah-olah Yume adalah kucing
peliharaannya.
Tanpa menghiraukan apa yang dilakukan Akari, Yume
menjawab, “Ya, karena kau menyanyikannya dengan gembira.”
“Benarkah? Kalau begitu kau tidak kan keberatan kan jika
aku menjadi kakak iparmu, Yume!?”
*TAK* terdengar suara pena yang patah.
Yume kemudian menatap Akari dengan tatapan yang bagaikan
pemburu sedang mengincar mangsanya. Lalu dengan nada bicara yang lembut ia
berkata, “....kau barusan bilang apa, Akari?”
“Maafkan aku!” Tanpa pikir panjang, Akari langsung
bersujud meminta maaf pada Yume.
Yume menghela nafasnya. “Lagian untuk soal itu, kau kan
bisa bertanya langsung pada orang yang bersangkutan.”
Akari menggelengkan kepalanya. “Tanpa bertanya padanya
pun, rasanya aku tahu ia akan menjawab apa,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“....begitu ya.” Yume kembali melanjutkan menulis laporan
setelah mengganti penanya dengan pena yang baru.
Mengikuti Yume, Akari pun kembali ke kursi untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai ketua Rune. Suasana ruangan pada saat itu
kembali dipenuhi oleh suara gesekan pena dan kertas. Hingga akhirnya salah satu
dari mereka kembali mengajak berbicara.
“Eh, Akari...”
“Ada apa, Yume?” Akari menengok ke arah Yume yang
pandangan matanya masih tertuju pada kertas di bawahnya.
“Akira, sudah pulang?”
“Tenang saja, dia masih berjaga di depan pintu kok,”
jawab Akari sambil tersenyum.
“Oh... Bagaimana dengan Sakuya?”
“Sakuya?” Akari kemudian merebahkan bagian atas tubuhnya
ke atas meja sambil merentangkan kedua tangannya jauh ke depan. “Aku... tidak
tahu. Sejak bertengkar hebat dengannya kemarin, aku tidak tahu di mana
keberadaannya...”
“Lagi?” Yume kembali mengehela nafas. “Kalian berdua
tampaknya memang tidak pernah akur ya...”
“Umm... kayaknya begitu... Seperti anjing dan kucing, air
dan minyak, siang dan malam, seperti itulah...”
“Tapi Akari, aku sering melihat anjing dan kucing akur
tuh,” Yume menolak pendapat Akari.
Memang banyak orang yang membuat anjing dan kucing
sebagai contoh orang yang tidak akur. Namun kenyataannya, anjing dan kucing
tidak pernah sekalipun bertengkar. Beda halnya dengan kucing dan tikus.
“Ugh....” mendengar jawaban Yume, Akari akhirnya tidak bisa
berkata apa-apa.
Tumpukan kertas yang tadinya menggunung, akhirnya mulai
berkurang jumlahnya hingga tersisa beberapa lembar saja. Usaha mereka untuk
tetap tinggal di sekolah sampai larut malam demi menyelesaikan laporan terbayar
sudah.
Setelah selesai berberes, mereka berdua bersiap untuk
meninggalkan ruangan. Sebelum itu, Yume tampak ingin mengatakan sesuatu pada Akari.
“... Akari,” panggilnya dengan suara kecil.
“Ada apa, Yume?” Akari berbalik menghadap Yume.
“Apakah hari-hari seperti ini masih dapat berlanjut?”
“....Entahlah,” Akari hanya bisa memberikan jawaban yang
tidak pasti. Bagaimanapun juga, Akari bukanlah Tuhan yang dapat mengetahui apa
yang akan terjadi pada keesokan harinya. Namun, ia mencoba untuk tersenyum agar
Yume tidak kecewa dengan jawabannya itu
Malam telah berganti pagi, menandakan hari baru telah
tiba. Setelah melewati liburan yang cukup panjang, akhirnya tahun ajaran baru
di Akademi Tresia pun dimulai.