Senin, 24 Oktober 2016

Bunuh Diri

Bunuh diri. Jelas kita sudah tidak asing dengan itu. Entah bunuh diri karena cinta, hidup susah, atau alasan lainnya. Pernahkah teman-teman berpikir untuk bunuh diri?

Saya yakin beberapa dari teman-teman pasti pernah, walau hanya sekilas. Menurut saya itu pemikiran yang wajar. Saya juga pernah (atau bahkan sering) berpikiran demikian.

Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, itu bukan tindakan yang tepat. Rata-rata orang-orang berpikir untuk bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan dunia ini. Tapi... apakah dengan melakukan tindakan itu kita bisa menjadi "lega"? Wah, belum tentu.

Berhubung ilmu agama saya tidak kuat, jadi saya tidak akan bahas dari sisi agama (namun agak menyerempet dikit).

Bunuh diri itu apa sih? Gampangnya sih membunuh diri sendiri. Membunuh orang itu dosa. Termasuk membunuh diri sendiri.

"Lah, kan ini badanku? Urusanku dong!"

Baiklah, coba kita pikir lagi. Cara bunuh diri itu banyak. Mulai dari gantung diri, minum racun, minum bensin (?), terjun dari bangunan tinggi, nabrakin diri ke kereta, dll. Tapi... apa cara itu menjamin 100% sukses? Kali saja anda tidak beruntung diselamatkan orang lain saat sedang melakukan perbuatan itu yang akhirnya berbuah apes.

Bisa nambah penyakit, kehilangan anggota tubuh, dll. Akhirnya tumbuh perasaan "sedikit" nyesel kenapa bunuh diri kayak gitu, kenapa diselamatin ama orang, kenapa oh kenapa.

Tapi selama ini yang menghalangi saya bukan pemikiran itu, melainkan hal lain.

Setelah kita bunuh diri, apakah semua masalah kita akan selesai?
Pegi ke Surga? Ngawur. Adanya justru Neraka.
Tapi Neraka mungkin masih mending. Gimana kalau justru kita hidup abadi di suatu tempat yang tidak apa-apanya, gelap, sepi, tidak ada siapa-siapa. Ibarat kayak ngunci diri di dalam lemari selama berhari-berhari.
Tapi... mungkin seperti itu yang disebut Neraka.

Manusia butuh manusia lain. Meski terkadang ada orang yang berkata "aku tidak butuh siapa2", ujung-ujungnya dia post di media sosial yang tandanya ia butuh seseorang. Sendiri bisa membuat jadi gila, kepikiran untuk bunuh diri. Tapi... apakah setelah abadi bisa mati?

Begitulah... Jadi sebelum bunuh diri, coba pikirkan dalam-dalam. Jalan-jalan keluar. Ngelakuin suatu kegiatan yang menyenangkan. Kali pikiran akan berubah 180 derajat.

人は殺されたら死ぬ


Jumat, 05 Desember 2014

Indonesiaku Sekarang

Sebelum memulai, mungkin lebih baik saya katakan terlebih dahulu. Sewaktu pemilihan presiden kemarin, saya memilih Pak Jokowi. Meskipun begitu, saya juga sempat bingung apakah akan memilih Pak Prabowo, karena di mata saya pun beliau termasuk orang yang layak untuk menjadi pemimpin Negara Indonesia tercinta.

Setelah selesai mencoblos, saya sih biasa-biasa saja. Kalau Pak Jokowi menang, saya senang. Kalau Pak Prabowo yang menang, saya juga senang. Karena saya menaruh kepercayaan bahwa kedua orang tersebut pasti akan bisa membawa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Yah, mana ada sih orang jadi pemimpin untuk merusak kelompoknya sendiri?

Sewaktu pengumuman hasil pemilihan, saya kagum. Ternyata persaingan sangat ketat sehingga selisi yang dicapai tidak sampai 60 : 40, dengan kata lain rakyat Indonesia sendiri pun menaruh kepercayaan yang sangat besar pada kedua orang tersebut bahwa dengan mereka, Indonesia akan dapat berubah menjadi yang lebih baik. Jika tidak, bukan tidak mungkin salah satu pasangan calon Presiden tersebut akan mendapat hasil 70 : 30 atau bahkan 80 : 20.

Namun dampak buruk dari selisih yang sangat sedikit tersebut, terbentuklah kelompok Fanatik. Bukan hanya kubu Pak Prabowo, tapi juga pada kubu Pak Jokowi!

Ayolah, Kalian ingin maju, tapi kalian menolak bila 'ia' menjadi Presiden. Gimana mau maju kalau rakyat tidak mendukung? Lalu jika Indonesia memburuk, kalian akan menyalahkan. Padahal kalian tidak mendukungnya? Menghina, menghujatnya, dan sejenisnya.

Kritik boleh, tapi kritik membangun. Bukan kritik untuk memojok. Kalian yang memilih, pasti sudah punya KTP, itu tanda kalau kalian sudah dewasa ''secara umur''.

Dan kalian para pendukung, jangan terlalu fanatik juga. Ia juga manusia, pasti punya kesalahan. Dia bukan Tuhan. Nabi pun bukan. Jika kalian melihat kesalahan, kritik! Jangan menutup mata!

Semakin lama, banyak orang yang niat sekali mencari kesalahan dari Presiden kita yang baru menjabat selama beberapa bulan ini, bahkan dengan sumber yang belum tentu benar atau tidaknya. Tapi saya kagum. Saya saja tidak sampai 'niat' seperti itu untuk mencari informasi seperti itu. Yang mungkin tidak bisa didapatkan dengan sering membaca koran, menonton berita, atau mengubek-ubek Google.

Kalau kalian sebegitu tidak inginnya dia jadi presiden, ya sudah pindah saja dulu ke negara lain. Belajar yang rajin, buat negara lain merekrut anda, 'curi' ilmu mereka, dan bawa ke Indonesia begitu Pak Jokowi sudah turun dari jabatan Presiden RI. toh, Pak Jokowi juga bukan Presiden Seumur hidup.

Kalau kalian nggak pingin balik ke Indonesia, ya udah. Yakin nih kalian bisa seperti Pak Habibie ? Diakuin sama negara lain gitu? Memang prestasi apa yang kalian sudah bikin? Nongkrong di Jejaring sosial untuk berdebat?

Kalian mungkin tidak ingat, Indonesia pada zaman kerajaan dulu, memiliki kerajaan yang sangat kuat. Bahkan ditakuti oleh negara lain. Daerah jajahan kita luas. Tapi kenapa kerajaan tersebut bisa musnah? Karena mereka bersatu untuk membentuk Negara Indonesia? Konyol, itu sih Jepang. Adanya juga karena kita DIADU DOMBA oleh orang luar.

Rakyat Indonesia, sudah dari dulu terkenal untuk gampang diadu domba satu sama lain. Seneng ya?

Jepang mengurung diri dari dunia luar selama beberapa tahun, efeknya nasionalisme mereka sangat kuat.

Indonesia dijajah oleh negara asing selama beberapa tahun, efeknya? Mungkinkah orang-orang jadi 'haus' akan kekuasaan? Sehingga korupsi menjamur kayak gitu.

Lihat negara lain, pada sibuk bikin robot, projek untuk pergi ke luar angkasa, dll. Eh, di Indonesia pada sibuk mikirin BBM yang suatu saat juga pasti habis.


Impian saya(?) dari dulu, ingin Indonesia bisa menjajah negara lain. Tapi dengan kondisi seperti ini, kayaknya hanya bisa dijadikan cerita. Kehancuran Indonesia bukan karena Presidennya. Tapi karena orang di dalam Indonesia sendiri.

Sudahkah kalian mentaati peraturan? Membuang sampah di tempatnya misalkan.

Menyebrang  jalan di Indonesia itu 'horor'. Pejalan kaki yang harus hati-hati. Karena nggak jarang ada pengendara motor atau mobil (terutama motor) yang justru menginjak gas.

Kenapa harus ngebut? Terburu-buru begitu? Takut telat? Ya jangan jam karet dong.


Anggaplah tulisan ini sebagai unek-unek saya yang sudah sebel gara-gara setiap update di TL Facebook, isinya tentang itu-itu mulu. Sekian, semoga Indonesia bisa maju dan jadi negara penjajah!


Jumat, 11 Juli 2014

Arcania [Prototype]

Chapter I : Malam Pertama

Bagian 1

            “Sora...” Aku memanggil Sora yang kini duduk tepat di hadapanku.
            “____”
            Ia tidak merespon sama sekali.
            Mungkin suara bising kereta membuatnya tidak dapat mendengar suaraku.
            “Sora, Bisakah kau mengambilkan buku di dalam yang ada di dekatmu itu?” Aku kembali mencoba memancingnya untuk berbicara.
            “____”
            Sora masih tidak mau berbicara.
           
            Tak lama tangannya bergerak meraba ke dalam tas di dekatnya, lalu mengeluarkan sebuah buku dari sana dan memberikannya padaku. Rupanya ia mendengarkan apa perkataanku tadi.
             Aku lalu mengambil buku itu dan meletakknya di sampingku. Sejak awal memang aku tidak berencana untuk membacanya, aku hanya ingin memancing agar Sora mau berbicara padaku. Namun tampaknya rencanaku ini gagal.
            “Sora, ayolah... Kita sudah hampir separuh jalan nih. Sampai kapan kau mau diam membisu seperti ini?”
            “____”
            10 menit telah berlalu dan Sora masih saja mengunci mulutnya rapat – rapat.
            Tampaknya ini memang sudah menjadi kebiasaan dirinya. Saat Sora marah ia tidak melepaskan amarahnya seperti orang lain namun, Sora lebih memlih untuk mengunci mulutnya rapat – rapat dan menundukkan kepalanya seakan sedang merenungkan sesuatu.
            Kanzaki Sora, adik perempuanku. Jarak umur kami berdua tidak terpaut jauh, hanya selisih 1 tahun saja. Namun, seakan tidak terima kalau ia lebih muda dariku, ia tidak pernah memanggilku dengan sebutan “Kakak”, melainkan hanya memanggil nama panggilanku saja, Aoi. Tapi aku rasa itu hanyalah masalah sepeleh yang tidak patut untuk dipermasalahkan, karena semua itu terserah Sora mau memanggilku apa.

            “Aoi.”
            Sambil memanggil namaku, Sora bangun dari tempat duduknya.
            “Ada apa?”
             Sambil menyipitkan matanya, Sora berkata, “Geser dikit...”
            “Eh? Untuk apa?”
            “Sudahlah, cepat!”
            Aku tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Sora. Tapi, daripada dia nantinya marah lebih aku tidak bertanya lagi.
            Aku menggeser posisi dudukku ke arah berlawanan dengan jendela kereta.
            Tak lama setelah itu, Sora langsung pergi duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya ke pundakku.
            “Eh?”
            “Apa?”
            Ia kembali menyipitkan matanya.
            “Tidak, tidak apa – apa.”
            Aku semakin tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Sora.
            Kalau tidak salah, ini pertama kalinya aku duduk dengan anak perempuan, meski dia adalah adikku sendiri. Tidak heran kalau otakku mulai berpikiran aneh.
            Samar – samar aku dapat mendengarkan suara nafasnya. Tidak hanya itu, samar – samar tercium aroma wangi dari tubuh Sora. Mungkin itu berasal dari sampo atau sabun yang ia pakai.
            Rambut panjangnya yang terurai, kulitnya yang putih, bibirnya yang tampak begitu lembut, serta bola matanya yang berwarna biru layaknya laut.
            Memang ini akan terdengar aneh bila aku yang mengucapkannya tapi, aku mengakui bahwa dia adalah perempuan paling manis dari semua perempuan yang pernah aku temui. Meski sifat cueknya itu adalah nilai minus.
            Aku sempat berpikir, apakah Sora sudah mempunyai orang yang dia sukai? Memang aku sering mendengar kabar kalau dia sangat terkenal di sekolah sebelumnya, tapi aku belum pernah mendengar kalau dia menyukai seseorang. Mungkinkah dia menutupinya dariku?  Sekali saja, aku ingin mengetahui laki – laki yang disukainya seperti apa.
            Bukan, ini bukan perasaan cemburu. Hanya saja aku ingin mengetahuinya.
            Sora selalu cuek padaku meskipun aku adalah kakak kandungnya. Bagaimana bisa ia sampai menyukai orang lain? Apa yang orang itu punya dan aku tidak!? Aku ingin mengetahuinya!
             
            Beberapa menit berlalu, selagi aku menggerutu di dalam hati, Sora tidak berpindah dari posisinya. Tampaknya ia tertidur. Bisa – bisanya ia tidur dengan posisi bersandar ke bahu laki – laki seperti ini. Kalau begini jadinya, mau tidak mau aku harus duduk membatu agar ia tidak terbangun.
            Sudahlah, lagian tidak lama lagi kami akan segera sampai ke tempat tujuan, tempat di mana kami berdua akan menjalani kehidupan baru, Kota Tresia.




















Bagian 2
            “Sora, jangan lupa dengan bawaanmu.”
            “____”
            Tanpa menghiraukan perkataan Aoi, Sora langsung turun begitu saja dari kereta tanpa mengecek terlebih dahulu barang bawaannya walaupun yang ia bawa hanyalah sebuah tas saja.
            Aoi dan Sora tidak membawa banyak barang meskipun mereka berpindah tempat tinggal. Ini karena pada hari sebelumnya Aoi sudah mengirim terlebih dahulu sebagian besar barang bawaan mereka melalui sebuah pelayanan jasa pindah rumah. Jadi sementara mereka masih berada di stasiun ini, mungkin barang mereka sudah sampai terlebih dahulu di tempat tinggal baru mereka.

            Sudah satu jam berlalu sejak mereka Aoi dan Sora turun dari kereta, tapi tidak ada tanda – tanda kedatangan bus sama sekali. Jangankan bus, bahkan di dalam stasiun tersebut tidak ada orang lain selain mereka berdua.
            Aoi yang kebingungan mulai menggaruk kepalanya. Berbeda dengan Sora yang duduk santai di kursi sambil mengayun – ngayunkan kakinya.
            “Aneh, seharusnya pada jam segini akan ada bus yang datang menjemput kita di sini,” ucap Aoi sambil mengeluarkan sebuah buku panduan dari dalam tas.
            Aoi membalik – balikkan halaman buku itu, tapi ia belum menemukan petunjuk sama sekali.
            “____”
            *Sret* Tanpa basa – basi Sora langsung merebut buku panduan di genggaman Aoi. Dengan cepat ia membalikkan halaman buku tersebut, hingga akhirnya tiba pada halaman terakhir.
            “____”
            Untuk sesaat Sora kembali menyipitkan matanya. Ia lalu menunjukkan sebuah tulisan di halaman terakhir buku tersebut pada Aoi.
            “Hm? Tahun 2009? Kenapa dengan tahun 2009?”
            Sambil memiringkan kepalanya, Aoi mencoba menerka apa yang dimaksud oleh Sora, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu.
            “2009!?”
            Dengan tanpa sadar Aoi mengucapkan kata itu dengan suara keras. Tapi di tempat sepi itu, ia tidak perlu khawatir akan ada orang memarahinya. Kecuali seseorang yang sedari tadi ada disampingnya, Sora.
            Sora menghela nafas. Nampaknya parameter moodnya kini sudah menurun drastis.
             Buku panduan di genggaman Aoi saat ini adalah buku panduan pertama yang pernah ia beli semasa hidupnya. Tetapi ia tidak menyadari jika buku panduan tersebut adalah buku panduan untuk 10 tahun lalu.
            Tidak heran bilamana tidak ada satupun kendaraan melewati jalan itu sedari tadi. Dalam kurun waktu 10 tahun, rasanya cukup untuk sekedar mengubah arus lalu – lintas yang ada.
            Kini selain Aoi harus memikirkan cara bagaimana untuk sampai ke kota Tresia, Aoi juga harus memikirkan cara untuk menghindari tatapan dingin dari seseorang di sampingnya.
            “Sora,” Aoi membalikkan badannya memanggil Sora.
            “Umm?”
            “Bagaimana kalau kita jalan saja?”
            “....Eh?”
            Sora kembali menyipitkan matanya.
            “Ya daripada kita duduk di sini terus, mending kita jalan saja. Selain itu tampaknya kota Tresia tidak jauh lagi.” Aoi mencoba menyemangati adiknya itu.
            Memang walaupun arus lalu lintas berubah, kota itu jelas tidak akan berpindah tempat. Pilihan Aoi kali ini cukup tepat namun, seberapa jauh jarak yang harus ditempuhnya Aoi sama sekali tidak mempunyai petunjuk.
            Sora kembali menghela nafas. Ia lalu berkata, “Kau serius?”
            “Mungkin...”
            “____”

            Langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi mendung. Awan gelap yang entah datang dari mana mulai berkumpul. Angin dingin pun mulai berhembus.
            Sora memiliki kemampuan cukup aneh. Entah itu merupakan mukjizat yang diberikan oleh Tuhan atau sihir namun, Kanzaki Aoi cukup berpengalaman dengan kemampuan Sora ini. Lebih tepatnya, ialah yang paling sering merasakan dampak dari kemampuan Sora.
            Setiap mood Sora sedang jelek, biasanya hujan akan turun dan tidak akan berhenti sampai moodnya kembali normal. Seolah – olah Sora dapat mengendalikan cuaca.
            Orang yang sering bersama Sora adalah Aoi, karena itulah sudah beberapa kali Aoi basah kuyup akibat hujan yang disebabkan oleh Sora. Tampaknya kali ini ia akan kembali mengalami hal sama.
            Seluruh permukaan langit kini telah tertutupi oleh awan gelap. Bahkan matahari yang tadi masih bersinar terang, sekarang entah di mana keberadaannya. Sepertinya tidak lama lagi hujan akan turun.
            “Aku harus memikirkan cara untuk mengambilkan mood Sora!” ucap Aoi dalam hati sambil mengepalkan telapak tangan kanannya.
            Itu adalah tindakan pertama yang harus dilakukan oleh Kanzaki Aoi.
            Jika nanti hujan telah turun, maka tidak ada cara lain selain berteduh sampai hujan tersebut berhenti, dengan kata lain sampai mood Sora kembali normal.
            Di tengah kebingungan, tiba – tiba Aoi teringat cara untuk mengembalikan mood Sora kembali normal dengan cepat.
            Aoi meraba – raba isi tasnya mencari sesuatu.
            “Ada!” Aoi mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya itu. Tampaknya benda itulah yang ia cari sedari tadi. Sebuah benda kecil yang terbungkus oleh plastik transparan.
            Benda itu adalah Permen Coklat. Tidak ada yang spesial pada permen coklat itu. Permen tersebut bisa didapatkan dengan mudah di toko – toko pinggir jalan hanya dengan uang sebesar 500 rupiah saja.
            Namun ada suatu alasan yang membuat permen coklat tersebut menjadi senjata andalan Aoi untuk memperbaiki mood adiknya itu.
            “Sora, kemarilah sebentar.” Aoi memanggil nama adiknya.
            “____”
            Dengan perasaan malas Sora berjalan menuju Aoi.
            “... Apa?” tanya Sora dengan nada sinis.
            “Aku mau memberikan sesuatu untukmu.”
            Aoi menghampiri Sora sambil menyembunyikan permen coklat itu di belakang punggungnya.
            “... Eh?”
            Sekilas pipi Sora memerah, namun ia berusaha menutupinya agar Aoi tidak mengetahuinya.
            “A... Apa?”
            *Hap* Secepat kilat Aoi langsung memasukkan permen coklat tersebut ke dalam mulut Sora.
            Tak lama Sora mengunyah permen tersebut, perlahan warna wajahnya menjadi cerah kembali.
            Sekali lagi, permen coklat itu hanyalah permen coklat biasa yang dapat ditemukan di toko – toko pinggir jalan. Tidak ada bahan khusus pada permen tersebut. Hanya saja tubuh Sora lah yang memicu efek tersebut.
            Kanzaki Sora, perempuan yang tidak tahan terhadap coklat. Setiap kali ia mengkonsumsi coklat, meskipun hanya sedikit, itu akan dapat membuat dirinya mabuk.
            Memang dari luar ia tidak terlihat seperti orang mabuk pada umumnya, hanya saja pada kondisi ini Sora biasanya lebih “jinak” pada Aoi.
            “Ah... kalau begini rasanya aku seperti berbuat jahat padanya,” ucap Aoi sambil menggaruk kepalanya.
            Mengikuti mood Sora yang kembali baik, awan gelap yang tadinya menutupi langit pun hilang entah kemana. Langit kembali bersih tanpa awan sedikitpun seperti baru saja dicuci. Strategi permen coklat berjalan sukses.
            “Nah, ayo kita berangkat, Sora!”
            Sora mengangguk sebagai tanda setuju.
            Sesaat sebelum Aoi melangkah, tiba – tiba Sora datang menggenggam tangan Aoi.
            “Eh?”
            Aoi memiringkan kepalanya.
            “___”
            “Ah sudahlah, ayo kita berangkat,” ucap Aoi sambil menarik tangan Sora, mengajaknya untuk berjalan.
           
            Sambil bergandengan tangan, mereka berdua berjalan mengikuti jalan raya besar yang entah mengarah kemana.
            Akan tetapi, disepanjang perjalanan, mereka tidak melihat adanya bangunan sama sekali disekitar jalan tersebut. Sejauh mata memandang, yang dapat mereka lihat hanyalah hamparan sawah yang sangat luas.
            Kota Tresia adalah kota besar. Perekonomian kota tersebut pun cukup maju. Selain itu, kota Tresia adalah satu – satunya kota yang masih berada di bawah kerajaan, yaitu Kerajaan Tresia. Bila kota dengan keberadaan sebesar itu tiba – tiba menghilang, tentu akan menjadi bahan pembicaraan seluruh dunia.

            Setelah kurang lebih 30 menit Aoi dan Sora berjalan, akhirnya mereka berdua menemukan sebuah gerbang yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berjalan saat ini. Di gerbang tersebut terdapat papan besar bertuliskan “Selamat Datang di Kota Tresia”. Tampaknya setelah berjalanan panjang, akhirnya Aoi dapat bernafas lega karena kota tempat mereka berdua akan tinggal kini sudah berada di depan mata.
            Seperti yang diharapkan dari sebuah kota kerajaan, Kota Tresia dikelilingi oleh dinding dengan tinggi sekitar 50 meter. Selain itu di depan pintu gerbang berjejer 4 buah patung berukuran manusia menghadap ke arah luar gerbang. 4 buah patung yang tampaknya adalah pahlawan Tresia ini terdiri atas 2 patung pria dan 2 patung perempuan, dan mereka sebuah berdiri memegang senjata seperti tombak, pedang, busur, bahkan palu godam. Sepertinya pada saat itu jenis kelamin tidak membatasi apakah ia bisa ikut dalam peperangan atau tidak.
            Di saat Aoi berdiri tepat di dekat gerbang, perhatiannya tanpa sengaja tertuju pada 2 patung pria dan perempuan yang tampaknya masih di bawah umur. Mereka terlihat masih lebih muda 3 tahun jika dibandingkan dengan Aoi yang sudah menginjak umur 17 tahun.
            Dalam benak pikirannya, Aoi tidak tahu ia harus merasa iri atau kasihan pada mereka. Disamping mereka dapat menjadi pahlawan dengan umur segitu, Aoi merasa kasihan karena dalam umur yang harusnya mereka habiskan dengan bermain, akhirnya lenyap akibat mereka berpartisipasi dalam peperangan para orang tua.
           

            Tak lama akhirnya Aoi dan Sora memasuki gerbang itu. Apa yang mereka lihat di dalam, bertolak belakang dengan pemandangan yang mereka lihat di luar.
            Jika tadi mereka melihat banyak sawah terbentang di setiap pinggir jalanan namun, kini mereka dapat melihat banyak bangunan berdiri di sepanjang jalanan kota.
            “Wah... Aku memang sudah pernah melihatnya di internet, tapi tidak ku sangka kalau kotanya seluas ini. Sora, bagaimana kalau kita jalan – jalan dulu sebentar?” Aoi menoleh ke arah Sora.
            “____” Sora tidak merespon, ia hanya menatap wajah Aoi saja.
            “... Ah baiklah, lebih kita cari dulu apartemen tempat kita akan tinggal sekarang.”Aoi membatalkan niatnya. Ia teringat kalau ia belum menemukan tempat yang akan mereka tinggali.
            Aoi lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Di kertas itu bertuliskan alamat apartemen yang akan mereka berdua tinggali.
            “Hmmm... Seharusnya ada disekitar sini,” ucap Aoi sambil berjalan sembari menengok ke kanan dan kiri.
            “Belum juga ketemu?” Sora yang tadinya diam akhirnya mulai kembali membuka mulutnya. Tampaknya pengaruh permen coklat tadi sudah habis.
            “Er... Sudah kok.”
            “Sudah tersesat lagi?” ucap Sora sambil memiringkan kepalanya.
            “Tidak tidak, belum kok.”
            “Eh?”
            “Ups...” Aoi menutup mulutnya dengan tangan kirinya.
            “___” Sora kembali menghela nafas. Tampaknya ia sudah lelah.
           
            Seolah tidak terjadi apa – apa, Aoi kembali menggandeng Sora dan berjalan meneruskan langkahnya mencari alamat yang tertulis di kertas.
            Setelah beberapa lama mereka berjalan, mereka akhirnya tiba di depan sebuah taman yang cukup besar dengan pepohonan rindang. Di tengah taman tersebut terdapat kolam air mancur dengan air yang sangat jernih. Bahkan kau dapat melihat bayanganmu terpantul di sana layaknya sebuah cermin.
            Di seberang taman berdiri sebuah apartemen mewah dengan cat berwarna putih. Dilihat darimanapun, pasti orang kaya lah yang tinggal di sana.
            “Haha... Ini Apartemen ya? Aku penasaran orang seperti apa yang tinggal di sini,” ucap Aoi sambil menghadap gedung.
            Aoi kemudian melihat nama apartemen tersebut yang tertulis di sebuah papan.
            “____”
            Aoi merasa pernah melihat nama apartemen tersebut sebelumnya dan itu rasanya baru saja terjadi.
            “EH!?” Tanpa sadar Aoi mengeluarkan suara keras. Aoi terkejut setelah teringat kalau nama apartemen di depannya ini sama dengan nama apartemen yang tertulis di kertas yang ia bawa, dengan kata lain tempat mereka akan tinggal.
            Memang dengan uang pemberian orang tua, mereka masih dapat menyewa kamar apartemen tersebut setidaknya untuk satu tahun tapi, entah dengan biaya hidup lainnya.
            “Ada apa?” Sora yang melihat Aoi terkejut, akhirnya menjadi penasaran.
            “Err... Kesalahan teknis... Mungkin...”
            “Mungkin? Apa maksud ‘mungkin’-mu itu?” Lagi – lagi Sora melirik ke arah Aoi. Tampaknya benar kalau pengaruh permen coklat sebelumnya telah habis.
            “Ah sudahlah, lebih kita pastikan saja dulu!” Tekanan dari Sora membuat Aoi tanpa pikir panjang lagi memencet bel yang berada tepat dihadapannya saat itu.
           
            UUUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu-----------
            Sesaat setelah Aoi memencet bel tersebut, tiba – tiba berbunyi suara sirine. Aoi secara reflek menengok ke kanan dan ke kirinya, mencari tahu dari mana suara tersebut berasal.
            Setelah ia telusuri, ternyata suara tersebut tidak lain dan tidak bukan berasal dari apartemen yang berada di depannya saat ini.
            “... Orang macam apa yang menjadikan suara sirine sebagai suara bel apartemen?” Aoi kembali menggaruk kepalanya. Sora yang tampaknya terkejut dengan suara sirine tadi, tanpa disadari memegang ujung baju Aoi.
            “E... Sora?”
            “____” Sora tidak menjawab namun, dari ekspresi wajahnya tampaknya ia terkejut dengan suara barusan.
            Sora yang tadinya pendiam dan cuek, kini nampak seperti seorang anak kecil di mata Aoi.
            “Ya, tunggu sebentar!” Terdengar suara perempuan menjawab dari arah dalam bangunan itu.

            “Eh? Suara perempuan?”
            “A-O-I!” Tanpa alasan yang jelas, tiba – tiba Sora mencubit tangan Aoi.
            “EH!? Kenapa tiba – tiba kau mencubitku, Sora!?” tanya Aoi sambil mengelus tangannya yang kesakitan.
            “Huh!” Sora membuang mukanya.
            “____”  Aoi memiringkan kepalanya. Ia semakin tidak mengerti apa yang ada dipikiran adiknya itu.
            “Ah iya, Aoi.”
            “Ada apa?”
            “Aku ingin kau menjelaskan sesuatu padaku,” ucap Sora sambil memandangi Aoi dengan tatapan serius.
            “Er... Soal?”
            “Dari mana kau bisa dapat penginapan sebesar ini? Lagi, sejak kapan kau memesan tempat ini?”
            Akhirnya pertanyaan yang Aoi ingin dengar paling terakhir telah terucap dari mulut dari mulut Sora.
            Selama ini Sora tidak pernah berada jauh dari Aoi, kecuali ketika mereka bersekolah. Pada saat mereka bersama itu, Sora tidak pernah melihat Aoi memesan suatu apartemen, atau berencana untuk pindah rumah sebelumnya. Maka dari itu, Sora sama sekali tidak mengetahui apa – apa tentang hal ini.
            Disaat orang tua mereka berangkat ke luar negeri untuk bekerja, Aoi tiba – tiba berkata :
            “Sora, ayo kita pindah rumah!”
            Lalu Sora yang pada saat itu baru saja bangun dari tidurnya, tanpa sadar mengikuti ajakan dari Aoi.
           
            “Ngg... Soal itu... bisakah aku menjelaskannya nanti?”
            “Sekarang,” Sora dengan cepat merespon. Tampaknya rasa penasarannya sudah tidak bisa dibendung lagi.
            Disaat Aoi kebingungan untuk mencari jawaban yang sekiranya tepat, datanglah dewi penolong.
            Dengan seragam bela diri membalut tubuhnya yang langsing itu, Aoi langsung beranggapan kalau perempuan itu orang yang kaku. Namun pada kenyataannya tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Aoi.
            “Yo! Kalian ada perlu apa datang kemari, Orang Perak?” ucapnya sambil menyeka wajahnya dengan handuk muka. Nampaknya ia baru saja selesai berlatih.
            “Eh? Orang Perak?” Aoi berbalik tanya.
            “Iya, kalian berdua,” ucap perempuan tersebut sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah rambut Aoi dan Sora.
            Memang warna rambut mereka yang berwarna perak sangat langka. Bahkan di kota Asuka, tempat mereka tinggal sebelumnya, Aoi tidak pernah menemukan orang lain berambut seperti mereka, bahkan kedua orang tua mereka pun tidak memiliki warna rambut seperti itu. Jadi tidak heran kalau mereka sering jadi pusat perhatian.
            “... Namaku Kanzaki Aoi, dan ini adalah adikku, Kanzaki Sora,” Aoi memperkenalkan diri. “Kami ke sini untuk...”
            “Ah! Aku tahu!” potong perempuan itu. “Jadi kalian yang akan menghuni tempat ini?”
            “Ah iya benar, tapi...”
            “Perkenalkan, namaku Kagura Aoi. Murid kelas 3 Akademi Tresia. Dengan kata lain, aku adalah kakak kelas kalian!” potong Kagura. Tampaknya ia adalah tipe orang yang tidak bisa menunggu sampai omongan orang lain selesai.
            “Eh? Dari mana kau tahu?” Sora yang tadinya hanya diam, kini ikut bertanya.
            “Seseorang mengatakannya padaku.”
            “Seseorang?”
            “Iya, Seseorang.”       
            “_____” Sora langsung berbalik menatap Aoi.
            “Eh!? Kenapa kau menatapku seperti itu!? Aku juga tidak tahu!?” Aoi membantah tuduhan tidak langsung Sora.
            “Kalau begitu...”
            “Tenang saja, bukan dari dia kok!” ucap Kagura sambil mengibaskan telapak tangan kananya.
            Sora menghela nafas. Entah mengapa tampaknya ia terkejut dengan pernyataan Kagura tadi.
            “Kalau begitu dari siapa?” Aoi ganti bertanya.
            “Ra-ha-si-a,” jawab Kagura sambil tertawa. Tampaknya tidak mudah bagi Aoi dan Sora untuk menguak sesuatu dari Kagura.
            Aoi lalu teringat dengan tujuan awalnya. Ia lalu memperlihatkan tulisan berada di kertas yang ia bawa sambil berkata, “Apakah benar yang tertulis di kertas ini adalah nama tempat ini?”
            “Kau tidak bisa baca ya? Sudah jelas tertulis ‘Kagura’ di papan sebesar ini,” ucapnya sambil mengetok – ketok papan nama itu.
            “____” Aoi tidak sedikitpun merasa tersinggung, hanya saja ia merasa kalau perempuan yang berada dihadapannya ini makhluk dari dunia lain, dalam berbagai arti. “Eh, Tunggu dulu! Berarti kamu pemilik apartemen!?” sambung Aoi lagi.
            “Kamu? Panggil aku dengan sebutan ‘Kak Kagura’,” kata Kagura sambil menjitak kepala Aoi.
            “Maaf...” Aoi mengelus – elus kepalanya untuk menghilangkan rasa sakit.
            “Tapi untunglah kalian sudah datang. Tadi aku sempat khawatir karena kalian tibanya lama sekali,” ucap Kagura sambil mengelus – elus kepala Aoi dan Sora. Kalau saja ada orang lain yang melihat mereka bertiga saat ini, mungkin mereka bertiga akan tampak seperti sebuah keluarga.
            “Mmm... ada sedikit masalah tadi,” Aoi menggumam.
            “Sudahlah, Aoi cepat masuk!” Kagura langsung menarik tangan Aoi dan Sora, mengajak mereka untuk masuk ke dalam apartemen.
            “Tunggu sebentar!!” Aoi mengerem.
            “Hmm?” Kagura menoleh ke arah Aoi.
            “Anu... soal uang sewanya...”
            “Uang sewa? Uang sewa apa?”
            “Ya uang sewa kamar, Kak Kagura.”
            “Loh memang kau belum tahu?” Kagura memiringkan kepalanya.
            “Belum, karena itulah...”
            “Gratis kok,” potong Kagura.
            “EH!?” Aoi tampak terkejut. 
            Sora lalu kembali menatap Aoi dengan tatapan penuh rasa penasaran. Tampaknya ia tidak mengerti apa yang membuat kakaknya itu terkejut.
            “Aoi, jangan – jangan kau...”
            “Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu sekarang, tapi buanglah jauh – jauh, Sora!” Aoi mencoba mengelak.
            “____” Sora diam dan menatap Aoi dengan cemberut.
            “Umm... Kak Kagura, maksudnya gratis itu...”
            “Kalian murid Akademi Tresia kan? Sejak dulu memang apartemen ini disewakan gratis untuk murid – murid Akademi Tresia. Dengan kata lain, asrama akademi,” ucap Kagura sambil membalikkan badan dan merentangkan kedua tangannya ke atas seakan ingin menunjukkan betapa luas apartemen miliknya itu.
            “Eh... ternyata ada sistem seperti itu ya...”
            “Sebenarnya baru tahun ini sih,”
            “Eh?”
            “Ya, habisnya sejak dulu tidak pernah ada murid yang berasal dari luar kota Tresia. Jadi bisa dibilang kalian berdua adalah pengunjung pertama.”
            “Eh.... Siapa yang menetapkan itu?”
            “Ketua Rune saat ini yang memintaku. Berhubung aku juga tidak ada masalah, jadi ya aku setujui saja,” jawab Kagura dengan santai, seolah – olah ia tidak memperdulikan meskipun rumahnya dijadikan asrama akademi.
            “Rune?”
            “Nama Dewan Perwakilan Siswa di Akademi Tresia. Kalau di gambarkan dengan diagram tingkat, maka kedudukan mereka berada di bawah Kepala Akademi. Yah, walaupun aku sendiri belum pernah sekalipun bertemu dengan Kepala Akademi sih,”
            “Eh? Sekalipun belum pernah? Selama 3 tahun ini?” Aoi nampak terkejut.
            “Yup. Meskipun aku pernah memasuki ruang Kepala Akademi, tapi aku tidak pernah bertemu dengannya. Biasanya disaat ada apa – apa, ia hanya meninggalkan secarik kertas di meja kerja,”
            “Kak Kagura pernah masuk ke dalam ruang Kepala Akademi?”
            “Pernah beberapa kali. Ketua Rune sebelumnya kan aku. Tapi sekarang sih aku sudah habis jabatan, alias murid biasa.”
            “Eh...”
            “Nah, sudah mengertikan? Ayo cepat masuk!” ucap Kagura sambil kembali menarik tangan Aoi dan Sora.
            “Tunggu sebentar!!” Aoi kembali mengerem.
            “Apa lagi!?”
            “Umm... Dari mana Kak Kagura tahu nama kami?”
            “Oh iya, aku belum mengatakan itu ya... Pantas saja sedari tadi adikmu menatapku dan kau dengan tatapan curiga,” kata Kagura sambil melirik Sora. Seketika itu Sora langsung memalingkan wajahnya.
            “Eh?” Seolah penasaran, Aoi juga ikut melirik Sora.
            Sora masih memalingkan wajahnya, seolah tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang memerah akibat malu.
            “Ha-ha-ha, itu tidak mungkin,” ucap Aoi dalam hati. Aoi menganggap, tidak mungkin bila Sora merasa cemburu padanya. Jangankan untuk cemburu, Sora bahkan jarang bercakap dengan Aoi.
            “Semua karena Rune. Seperti yang aku katakan sebelumnya, kedudukan Rune berada tepat di bawah Kepala Akademi. Maka dari itu untuk sekedar nama murid baru, mereka pasti tahu,” ucap Kagura sambil menaruh kedua tangannya di pinggang.
            “Oh... Tapi bukankah jumlah murid barunya itu banyak banget?”
            “Iya, tapi murid yang berasal dari luar kota hanya kalian berdua. Dari mana aku tahu kalian dari luar kota? Seperti yang aku katakan tadi sebelumnya, selama ini belum pernah ada murid yang berasal dari luar kota Tresia, karena itulah aku bisa mengetahui nama kalian berdua begitu kalian mengatakan ingin menyewa kamar di apartemen ini, mengerti?” balas Kagura lagi.
            “Hmm... kurang lebih...” Aoi mengangguk.
            “Kalau begitu, ayo cepat masuk!” Kagura untuk ketiga kalinya kembali menarik Aoi dan Sora ke dalam apartemen.

            Setelah masuk ke dalam kemudian menaiki tangga satu kali, akhirnya mereka berhenti di depan kamar dengan nomor 202 terpampang di pintu.
            “Nih kunci kamar kalian, meski kota Tresia adalah kota paling aman, tapi tetap jangan lupa untuk mengunci pintu sebelum keluar dari kamar,” ucap Kagura sambil menyerahkan 2 pasang kunci pada Aoi dan Sora.
            “Oh iya, aku ingin bertanya sesuatu pada kalian berdua,” ucap Kagura setelah memberikan kunci apartemennya.
            “Tentang?” Aoi merespon, sementara Sora masih diam di balik punggungnya.
            “Kalian dua bersaudara?”
            “Eh? Iya, memang ada apa?” Aoi memiringkan kepalanya. Untuk orang yang baru pertama kali bertemu, pertanyaan itu cukup membingungkan Aoi.
            “Hmm... kenalanku di Rune ada yang memiliki warna rambut persis seperti kalian berdua, jadi tadinya aku mengira kalau kalian tiga bersaudara.” Kagura menyilangkan tangan di depan dada.
            “Eh!?” Aoi dan Sora nampak begitu terkejut. Selama ini mereka selalu beranggapan bahwa hanya mereka saja yang memiliki warna rambut perak.
            “Siapa dia?” Aoi langsung melontarkan pertanyaan pada Kagura.
            “Yume, Shirozawa Yume. Kalau tidak salah ia berada di kelas yang sama dengan Akari.” Sambil meletakkan telunjuknya di dagu, Kagura mendongakkan kepalanya ke atas.
            “Akari?”
            “Kagamiya Akari, ketua Rune saat ini. Setelah aku berhenti, ia yang menggantikanku sebagai ketua.”
            “Ohh...”
            “Kau ingin bertemu mereka?”
            “Boleh?”
            “Boleh saja. Besok setelah upacara penerimaan murid baru, akan kuajak kau bertemu mereka. Biasanya sih mereka ada di ruang Rune, bagaimana?”
            “Baiklah... Bagaimana Sora, kau juga mau ikut?” Aoi menoleh ke arah Sora
            “... Kau mau aku tidak ikut?”Sora balik menatap Aoi dengan sinis.
            “... Sepertinya kau memikirkan sesuatu yang aneh lagi ya...”
            “____” Sora langsung memalingkan wajahnya.
            Aoi menghela nafas. Ia tampaknya mulai lelah menghadapi tingkah laku adiknya itu. Berbalik dengan Kagura yang sedari tadi tampak menahan tawanya melihat tingkah laku kakak adik di hadapannya.
            “Kalian berdua ini sebenarnya akrab ya!” Kagura akhirnya melepas tawanya.
            Aoi dan Sora pun tersipu malu, sampai – sampai mereka berdua tidak berani untuk saling bertatap muka.
            “Oh iya, mengenai peraturan di apartemen ini. Bisa dibilang bebas sih, tapi...”
            “Tapi?” Aoi dan Sora saling bersinkronasi.
            “Seberapa pun kalian saling suka, jangan berbuat mesum di apartemenku ini, mengerti!?”
            Aoi dan Sora tampak terkejut. Terutama Sora, entah mengapa wajah menjadi pucat.
             “HAH!? Itu tidak mungkin akan terjadi!!!” bantah Aoi.
            Aoi tidak dapat membayangkan kalau Sora akan suka kepadanya. Jangankan suka, bahkan mereka berdua jarang sekali berkomunikasi.
            “Kami berdua bersaudara... Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi, Kak Kagura tenang saja,” ucap Sora sambil tersenyum kepada Kagura.
            Untuk pertama kalinya Aoi melihat Sora tersenyum. Melihat itu, Aoi lalu tanpa sadar meletakkan telapak tangannya di atas kepala Sora, dan mengelus – elus rambutnya.
            Sora menundukkan kepalanya, seakan ia senang ketika Aoi mengelus – elus rambutnya.
            Pipinya memerah. Namun supaya orang lain tidak mengetahuinya, Sora menutupi dengan menurunkan poni rambutnya. Tapi, ada satu orang yang mengetahui hal itu.
            “Sora!!! Kau manis sekali!!” Kagura melompat memeluk Sora. Ia lalu mengelus – eluskan pipinya seperti anak perempuan yang baru saja mendapatkan boneka baru.
            “Eh!?” Sora terkejut. Ia lalu berusaha melepaskan diri dari pelukan Kagura dengan menggunakan kedua tangannya. Akan tetapi melawan Kagura, seorang ahli bela diri, akhirnya Sora hanya bisa pasrah.
            “Kau jadi adikku saja ya, bagaimana?” Kagura melepaskan pelukannya.
            “____” Sora hanya diam. Sementara Aoi disampingnya hanya tersenyum menahan tawa melihat ekspresi adiknya.
            “... Aku tidak bisa.”
            “Eh? Kenapa?”
            “...Bagiku asalkan ada Aoi saja sudah cukup,” ucap dengan suara kecil sambil menundukkan kepalanya.
            “Eh?” Kagura kembali mendekat pada Sora seakan menyuruh Sora untuk mengulangi apa yang ia katakan.
            “Selama Aoi di sampingku, aku tidak membutuhkan siapa – siapa lagi. Baik itu Papa ataupun Mama,”
            “_____” Kagura membisu. Ia membutuhkan waktu untuk mencerna pernyataan Sora. “Hmm... Jadi maksudmu itu kau hanya ingin berdua bersama Aoi, begitu?” bisiknya pada Sora.
            “Bukan! Bukan!” Sora menggelengkan kepalanya dengan panik.
            “Iya iya, aku mengerti,” Kagura berdiri meluruskan punggungnya. “Tapi seperti yang aku jelaskan tadi, aku melarang kalian berbuat mesum di apartemenku!” Kagura mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Sora.
            “Ugh...”
            “Yah sudah lebih baik kalian cepat istirahat, sampai jumpa besok pagi,” Kagura melambaikan tangannya sambil berjalan meninggalkan Aoi dan Sora.
            “Sora, tadi kalian bisik – bisik ngomongin apa?” tanya Aoi penasaran.
            “Bukan apa – apa,” Sora memalingkan wajahnya.
            “____”
***
            “Ah... akhirnya sampai juga...”
            Setelah obrolan yang cukup panjang, akhirnya mereka masuk ke dalam kamar apartemen.
            Aoi merentangkan kedua tangannya.
            “... Seharusnya kita bisa sampai lebih cepat...” ucap Sora sambil melihat jam dinding di depannya.
            “Baik, baik, ini salahku. Bukankah aku sudah minta maaf tadi?”
            “____” Tanpa menghiraukan Aoi, Sora langsung mencopot sepatunya dan berjalan ke arah ruang utama.
            Kamar yang mereka tempati cukup besar jika digolongkan sebagai asrama sekolah. Selain ada ruang tamu, ada juga kamar mandi, kamar tidur, bahkan dapur. Jika mengingat semua itu mereka dapatkan secara cuma – cuma, pastinya ada sesuatu dibalik semua itu.
            “Kau tidak mau menyapa orang di kamar sebelah dulu, Sora?”
            “Eh?Kita kan baru saja sampai,”
            “Iya sih, tapi ada baiknya kalau kita menyapa mereka dulu,” Aoi berusaha untuk memujuk Sora.
            “Tidak, terima kasih...” Tanpa memperdulikan ajakan Aoi, Sora berjalan menuju arah kamar mandi.
            “Sora, sebelum kamar mandi, ayo beres – beres kamar dulu!”
            “Eh??”
            “Bukan ‘eh’, nanti setelah selesai mandi kau pasti tidak mau membantuku kan?”
            “Baik – baik!” Dengan malas Sora mengangkut barang bawaannya ke kamar tidur. Kamar tidur letaknya berada tepat di sebelah ruang tamu. Lalu jika kau berjalan lurus melewati kamar tidur, kau akan mendapati kamar mandi di sana. “Umm... Aoi...”
            “Hmm? Ada apa?” Aoi berjalan menghampiri Sora.
            “Kau sudah mengatakan kalau kita berdua kan?”
            “Hmm.. sepertinya begitu...”
            “Sepertinya?”
            “Memangnya kenapa?”
            “Tuh, lihat...” Sora menunjuk ke arah dalam kamar tidur. Kamar tidur tersebut cukup luas, bahkan hampir seluas ruang tamu. Tapi yang ingin diperlihatkan oleh Sora pada Aoi bukanlah luas kamar tersebut, tapi kasur yang hanya ada 1 buah saja.
            “Eh? Cuma 1!?”
            Sora mengangguk.
            Aoi menompangkan dagunya di tangan kanannya. “Hmm... lebih kau saja yang tidur di sana, Sora. Biar aku tidur di ruang tamu saja. Besok mungkin aku akan membeli kasur lipat yang murah di supermarket.”
            “.... Kasurnya cukup besar kok untuk kita berdua...”
            “Memang sih, tapi...”
            Wajah Sora mulai memerah. “Ki... kita tidur bersama saja...”
            “Kau serius?”
            Sora mengangguk sambil berusaha menutupi wajahnya.
            Mereka berdua memang bersaudara, tapi dengan umur mereka sekarang rasanya tidak pantas kalau mereka masih tidur bersama. Namun, Aoi tampaknya tidak bisa menolak ajakan Sora.
            “... Baiklah, kalau kau tidak keberatan...”
            “____” Sora membalikkan badannya. “Ayo, katanya mau beres – beres!?”
            “Baik – baik...”

            Setelah lewat beberapa jam, akhirnya mereka berdua selesai membereskan barang mereka. Kamar yang tadinya masih tampak kacau balau pun akhirnya kita terlihat rapi.
            “Yak, selebihnya kita lanjutkan besok saja ya.”
            Sora mengangguk.
            “Kau mau mandi kan? Duluan saja, aku akan beres – beres dulu sebentar.”
            “Umm... Aoi...”
            “Hmm? Apa? Kau tidak jadi pergi mandi?”
            “____” Sora terdiam sambil menundukkan kepalanya, menutupi sebagian wajahnya dengan poni rambutnya.
            “Ada apa, Sora?” Aoi berjalan menghampiri Sora.
            “Umm....” Sora tetap menggumam, ia tampak tidak bisa mengutarakan sesuatu yang ia ingin ucapkan.
            “Sora?”
            “Setelah sekian lama...”
            “Hm?”
            “Bagaimana kalau kita mandi bersama?” ajak Sora sambil menatap mata Aoi. Wajahnya kini berwarna merah seperti layaknya tomat.
            “... EH!?” Aoi terkejut. Ia tidak pernah menyangka bahwa Sora akan berkata seperti itu. Jangankan mengajaknya mandi mandi bersama, bahkan ketika Aoi mengajaknya berjalan bersama pun biasanya Sora akan menolaknya.
            “Kau serius mengatakan itu!?” Aoi ingin memastikan kalau ia tidak salah mendengar.
            “Memang kenapa?”
            “Hmm... aku tidak menyangka kalau kalimat itu akan keluar dari mulut...”
            “... Tidak sopan...”
            “Ya habisnya itu berarti kita akan saling bertelanjang badan bukan!?”
            “... Jorok...”
            “EH!?”
            “Memang siapa yang menyuruhmu masuk ke kamar mandi juga?” Sora menyilangkan tangannya di atas dada, memandang Aoi dengan tatapan sinis.
            “... Eh?”
           
            “Aoi, kau masih di sana?”
            “Ya...”
            “Jangan pergi dari situ!”
            “Iya iya!”
            Mandi bersama...
            Dalam pikiran Sora, mandi bersama berarti Aoi menjaga di luar sedangkan Sora lah yang mandi. Berada di tempat baru membuat Sora tidak nyaman untuk mandi sendirian, maka dari itu ia menyuruh Aoi untuk berjaga – jaga di luar.
            Suara guyuran air terdengar menembus dinding kamar mandi yang tipis. Belum lagi bayangan tubuh Sora yang terpantul di pintu kaca kamar mandi. Seiring warna wajahnya yang semakin memerah, detak jantung Aoi pun makin bertambah cepat.
            “Ini berbahaya...”
            “Apanya berbahaya?” Sora menyahut dari dalam kamar mandi. Tampaknya di antaran suara guyuran air, ia masih mendengar apa yang Aoi katakan.
            “Ah, bukan! Bukan apa – apa!” Aoi hanya mengelak. Ia tidak mungkin mengatakan kalau ia sempat mempunyai pikiran mesum pada Sora.
            “Kau... barusan memikirkan sesuatu yang mesum ya?”
            “Eh? Itu tidak mungkin,” Aoi kembali mengelak. Tampaknya Aoi bukanlah tipe orang yang tidak pandai menyembunyikan sesuatu.
            “.... Tidak sopan...”
            “Hah? Sebenarnya kau itu ingin aku berpikiran mesum atau apa sih?” ucap Aoi dengan nada menantang.
            “Bo.... Bodoh!!” Dengan tanpa sadar Sora membuka pintu kamar mandi, lalu menyiram Aoi dengan air digayung sehingga membuatnya basah kuyup.
            “Eh...?”

            “Aoi... Maafkan aku...”
            “Ya ya,” Aoi mengeringkan rambutnya dengan handuk tangan. Ia baru saja selesai mandi setelah bergantian dengan Sora yang sebelumnya menyiramnya dengan air.
            “Kau... marah?”
            “Tidak kok, tenang saja,” ucap Aoi sambil mengelus – elus rambut Sora.
            “Fuh...”  Sora menghela nafas.
            “Ngomong – ngomong, Sora, pakaianmu itu...”
            Aoi melirik piyama membungkus badan Sora yang kurus. Piyama panjang berwarna pink dengan corak bergambar anak burung. Aoi membelikan piyama itu untuk Sora sebulan lalu, tapi baru kali ini Aoi melihat Sora memakainya.
            “K... kau sudah bersusah payah membelikannya untukku, jadi aku hanya tidak enak saja kalau gak pernah memakainya,”
            “Ohh... aku kira seleramu akhirnya berubah,”
            “Itu tidak mungkinlah! Lagian, kau kan sudah tahu aku lebih suka kucing dari pada burung!”
            “Iya iya, aku lupa. Tapi Sora...,”
            “Hmmm?”
            “Baju itu... pantas untukmu...” ucap Aoi sambil melirik Sora mulai dari ujung kaki sampai kepala.
            Badannya yang langsing, bola matanya yang berwarna biru, serta rambut putihnya yang selaras dengan warna piyamanya, entah mengapa membuat Sora tampak lebih erotis di mata Aoi. Sehingga, sedari tadi Aoi hanya bisa memalingkan pandangan matanya dari Sora agar ia tidak berpikiran yang tidak – tidak.
            “Terima kasih... Kak...” ucapnya dengan suara kecil.
            “Eh?”
            Sora selama ini tidak pernah memanggil Aoi dengan sebutan kakak. Biasanya Sora hanya memanggilnya dengan sebutan “Aoi”. Karena itulah Aoi sedikit tidak percaya kalau ia mendengar Sora memanggilnya dengan sebutan “Kakak”.
            “Bukan apa – apa!” Dengan kedua tangannya Sora menutupi  rona wajahnya memerah.

            Mandi setelah berbenah, membuat rasa kantuk mereka bertambah sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk segera tidur.
            Di kamar tidur, terdapat sebuah kasur besar di tengah – tengah ruangan. Di kasur tersebut lah mereka berdua akan tidur bersama. Dengan sebuah cermin besar yang tergantung di lemari yang terletak di seberang kasur, menimbulkan perasaan aneh pada mereka berdua.
            “Nng.... kamu serius mau tidur bersamaku, Sora?”
            “Apa aku perlu untuk mengulanginya lagi?”
            “Tidak, sudah cukup” jawab Aoi sambil mengangkat tangan kanannya memberikan isyarat untuk berhenti.
            “Dan lagi... ini bukan pertama kalinya kan kita tidur bersama...” kata Sora sambil menundukkan kepalanya.
            Untuk sesaat suasana hening tercipta di antara mereka berdua. Mereka berdua teringat akan kejadian di masa lalu. Saat – saat di mana mereka berdua baru mengenal satu sama lain 3 tahun yang lalu. Bagi orang lain, mungkin kejadian itu hanyalah kejadian biasa. Namun, bagi mereka berdua  itulah adalah momen paling spesial.
           
            “Aoi... kau masih ingat dengan kejadian waktu itu kan?” Sora memecahkan kesunyian di antara mereka.
            “Tentu saja, itu pertama kalinya aku melihatmu ketakutan,” ucap Aoi dengan senyum dibibirnya.
            “... Bodoh,” Sora membalasnya dengan wajah cemberut.
            “Bercanda, aku masih ingat kok!” ucap Aoi sambil tertawa.
            “____”
            “Sora, kau marah kepadaku lagi?”
            “....?” Sora memiringkan kepalanya, ia tampak kebingungan dengan pertanyaan Aoi. “Marah?”
            “Iya, setiap kau marah padaku, bukankah kau akan selalu diam menutup mulutmu? Buktinya di kereta tadi kau hanya diam terus meskipun aku ajak bicara,”
            “... Kereta?”
            “Iya, di kereta tadi. Aku pikir kau marah karena aku tiba – tiba mengajakmu untuk pindah rumah?”
            “.... Tampaknya kau salah paham, Aoi,”
            “Eh?”
            “Hmm... Aku tidak akan memberitahukanmu alasan mengapa aku diam sedari tadi, tapi...”
            “Tapi...?” Bergantian kini Aoi yang memiringkan kepalanya.
            “Umm... lebih baik tidak usah deh,” ucap Sora sambil membalikkan badannya. Beda dengan sebelumnya, kali ini Sora tampak begitu gembira.
            “Eh!? Kau kan janji akan memberitahuku?”
            “Aku tidak ingat pernah berjanji,” bantah Sora sambil menjulurkan lidahnya. “Aku hanya ingin mengatakan kalau aku tidak marah padamu sedari tadi,” lanjutnya lagi.
            “Lah? Terus?”
            “Rahasia,” ucap Sora dengan senyum di bibirnya. Berbeda dengan saat Sora tersenyum pada Kagura, kini senyumnya tampak begitu bahagia. Entah apa alasan yang membuat moodnya membaik.   “Oh iya, Aoi.” Sora membalikkan badannya kembali.
            “Ada apa?”
            “Kau belum menjelaskan padaku dari mana kau mendapatkan tempat tinggal ini hingga sekolah kita nanti. Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Aku juga tidak mengingat pernah melihatmu mengurusi surat pindah Sekolah. Belum lagi, kau juga mengatakan kalau aku juga akan sekolah di Akademi Tresia, padahal aku belum mengambil ujian di sekolah mana pun,”
            “Err... soal itu, berjanjilah sebelumnya kalau kau tidak akan marah padaku,”
            “Baik aku berjanji,” Sora dengan tegas menjawabnnya.
            “.... Baiklah, tunggu sebentar,” Aoi bergerak menuju tumpukan tas yang berada di sudut ruangan. Di sana ia mengambil sebuah buku berwarna biru dari salah satu kantong tas yang paling besar. Aoi lalu membalikkan halaman buku tersebut dengan cepat seolah hendak menjadi sesuatu. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah amplop merah dengan cap berlambang kunci di permukaan amplop. “Ini dia...” Aoi menyerahkan amplop merah dengan cap berlambang kunci tersebut pada Sora.
            Setelah menerimanya dengan tangan sendiri, Sora melirik setiap sudut permukaan amplop tersebut, tapi ia tidak menemukan siapa dan dari mana pengirim amplop surat tersebut. Yang hanya ia ketahui hanyalah cap berlambang kunci. Tampaknya cap berlambang kunci itu adalah lambang dari suatu organisasi.
            Setelah puas menilik permukaan amplop itu, Sora beralih ke isi amplop itu. Ia lalu menemukan secarik kertas dan 2 kartu identitas dengan nama mereka berdua di sana. Sora lalu memegang 2 kartu identitas tersebut dengan tangan kanannya.
            “Kartu? Kartu sekolah?” Sora menyimpulkan kartu tersebut adalah kartu sekolah setelah melihat nama “Akademi Tresia” terpampang dibagian atas kartu tersebut.
            “Iya, memang tidak ada foto kita berdua, tapi nama yang tertera di sana jelas – jelas nama kita berdua kan. Dengan itu berarti kita sudah menjadi murid akademi Tresia,” ucap Aoi sambil menunjuk pada kartu di tangan Sora.
            “Hmm... tapi sejak kapan?”
            “Tidak tahu,”
            “_____” Sora menggembungkan pipinya.
            Setelah menaruh kartu tersebut di atas meja dekat kasur, ia kini berganti membuka secarik kertas yang ada di dalam amplop. Di kertas tersebut tertulis pesan singkat yang tampaknya untuk mereka berdua. Sora mulai membaca isi surat tersebut,

            Saya menawarkan kalian berdua,Tuan Kanzaki Aoi dan Kanzaki Sora untuk tinggal di kota Tresia. Untuk tempat tinggal dan transportasi jangan khawatir, karena saya telah mengurusnya. Beserta surat ini telah saya lampirkan tiket kereta dan alamat tempat kalian akan tinggal. Ini adalah pilihan kalian, apakah kalian ingin mengambil kembali ingatan kalian yang telah hilang atau tidak.
                                                                                                            Sakuya

            “Sakuya? Perempuan ya?” Sora menatap Aoi soal menatap seorang hidung belang.
            “... Kenapa kau malah memperhatikan yang itu....”
            “Bercanda,” Senyum kini kembali berada dibibirnya. Sora lalu melanjutkan, “Dari mana dia tahu nama kita berdua?” tanya Sora sambil duduk di pinggir kasur.
            “Tidak hanya itu, ia juga tahu bahwa kita kehilangan ingatan,” sambung Aoi sambil duduk di sisi berlawanan dari Sora.
            “Benar juga...” Sora nampak sedikit terkejut. “Apakah mungkin dia pernah mengenal kita sebelumnya? Sehingga ia juga tahu kalau kita kehilangan ingatan...” lanjutnya lagi.
            “Mungkin saja, tapi orang tua kita tidak pernah menceritakan soal ini sebelumnya pada kita berdua,”
            “Tentu saja... mereka kan bukan orang tua kita yang sebenarnya...” Sora menyandarkan punggungnya ke punggung Aoi. Sambil menatap ke langit – langit Sora kembali berkata, “Maka dari itu aku tidak pernah bergantung pada mereka...”
            “Ya, aku tahu itu... tapi setidaknya kita harus berterima kasih pada mereka, karena mereka lah kita berdua masih bisa bersama, bukan?”
            “... Soal itu...” Sora memeluk kedua lututnya, merenungkan sesuatu. “Baiklah jika kau yang berkata begitu...”
           
            Aoi dan Sora mengalami hilang ingatan 3 tahun lalu, tepatnya disaat “Badai Archania” melanda kota Asuka. Mereka berdua selamat dalam bencana itu, namun mereka kehilangan ingatan mereka. Dokter rumah sakit tempat mereka dirawat mengatakan kalau mereka kehilangan ingatan akibat shock. Mereka yang tidak memiliki kartu identitas, akhirnya diadopsi oleh pengantin muda yang tidak memiliki anak dan mereka pun diberikan nama.
            3 tahun telah berlalu, namun tidak satupun serpihan ingatan mereka yang kembali. Mereka hanya mengetahui kalau mereka berdua adalah saudara, itu dari tes DNA yang dilakukan pada saat mereka masih dirawat rumah sakit.
            Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, mereka akhirnya mengetahui bahwa orang tua mereka kini bukanlah orang tua mereka sebenarnya. Orang yang pertama kali menyadarinya adalah Sora. Sora secara tidak sengaja menemukan surat tanda adopsi yang disembunyikan oleh orang tua mereka di dalam kardus yang berada di dalam gudang. Di sana tertulis kalau mereka berdua adalah anak adopsi, tapi kebenaran kalau mereka bersaudara tidak berubah.

            “Umm... Aoi,”
            “Ada apa?”
            “Apa kau akan menemui orang itu?”
            “Sakuya? Karena kita sudah menerima tawarannya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bertemu dengannya kan?”
            “... Bagaimana kalau ia berbohong?”
            “____”
            Sora menghela nafas, “Kau tidak memikirkan kemungkinan itu ya...”
            “Bukan seperti itu... Bagiku masalah apakah ia berbohong atau tidak, itu tidak masalah...”
            “Eh?” Sora menengok ke arah Aoi.
            “Selama kita bersama, aku rasa itu tidak masalah bukan?”
            Sora tersenyum mendengar jawaban Aoi, ia lalu mengangguk pertanda ia setuju dengan pendapat Aoi.
           
            “Ngomong – ngomong, Sora,” Aoi ikut menengok ke arah Sora.
            “Ada apa, Aoi?”
            “Apa yang akan kau lakukan bila ingatanmu kembali?”
            “Tidak tahu,” jawab Sora dengan tegas.
            “Eh?”
            “Kau sendiri bagaimana?”
            “Hmm... Aku juga tidak tahu,”
            “Pfft,” Sora menahan tawanya. “Kau sendiri tidak tahu, ngapain tanya ke aku?”
            “Ya habisnya aku sendiri juga tidak mengerti, tapi...”
            “Tapi?”
            “Aku merasa telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan di masa lalu,”
            “____” Sora membaringkan tubuhnya di atas kasur, ia lalu membalikkan tubuhnya ke kanan, sehingga ia dapat melihat wajah Aoi. “Kau terlalu berprasangka buruk, apa yang bisa diperbuat oleh anak kecil macam kita?”
            “Iya sih, tapi entah aku tetap merasa telah berbuat sesuatu...” Aoi menundukkan kepalanya, tampak ia sedang merenungkan sesuatu. “Setiap malam aku bermimpi...”
            “Itu sesuatu yang wajar sebagai manusia kan?”
            “Mimpi buruk...”
            “Seperti apa?”
            “Kau ingin aku menceritakannya?”
            “Kalau kau tidak keberatan...”
            “Tidak apa – apa, mungkin memang lebih baik aku menceritakannya padamu, Sora.” ucap Aoi sambil melirik Sora yang berbaring di atas tempat tidur.
            “Tapi sebelum itu...” Dengan cepat Sora menarik lengan baju Aoi, dan membuatnya terbaring di samping Sora. “Dengan begini kan aku bisa lebih mendengarkan cerita mu lebih jelas lagi, bukan?”
            “... Tapi kau bisa mengatakannya terlebih dahulu padaku kan...”
            “Kalau tidak begini, kau tidak akan mau bukan?”
            “____” Aoi akhirnya menyerah dan akhirnya ia mulai bercerita tentang mimpi buruknya setiap malam...

***
            Bulan dan bintang terlihat di langit, itu berarti hari sudah malam. Namun, tidak seperti malam yang gelap, di sana sangat terang sekali seolah – olah masih siang hari. Cahaya dari lautan api lah yang membuat suasana di tempat itu nampak seperti siang hari.
            Ya, lautan api... Di sejauh mataku memandang, yang aku lihat hanyalah bangunan – bangunan yang telah diselimuti oleh lautan api. Bangunan yang diselimuti oleh api tersebut meleleh dengan cepatnya.
            Api itu tidak normal. Memang aku belum pernah memegang api sebelumnya, tapi untuk melelehkan sebuah bangunan, pastilah suhu api tersebut sangatlah tinggi. Bahkan bangunan setinggi 10 lantai pun meleleh dalam waktu hitungan menit.
            Apa yang sebenarnya telah terjadi di tempat itu?  Apakah letusan gununglah yang menyebabkan lautan api tersebut? Tidak, karena aku tidak sedikitpun merasakan ada abu vulkanik yang turun dari langit.
            Jika aku menutup mataku, aku dapat mendengar teriakan orang meminta tolong. Tampaknya seluruh penduduk kota tersebut tidak dapat melarikan diri. Mendengarkan teriakan mereka, apa yang aku lakukan? Aku tidak dapat melakukan apapun. Aku bahkan tidak tahu asal suara itu. Suara itu hanya terus terngiang di telingaku.
            Anehnya aku tidak merasakan ketakutan sedikitpun melihat semua itu. Semua tampak biasa – biasa saja. Kemudian, begitu aku melihat sosok tubuhku terpantul pada sebuah kaca jendela di puing – puing bangunan yang tersisa.
            Sosok diriku yang terpantul di sana tampak jauh berbeda dengan diriku yang sekarang. Selain usia yang tampaknya jauh lebih muda, diriku yang terpantul di sana sama sekali tidak memiliki ekspresi. Padahal darah segar hampir membungkus seluruh tubuhnya. Jubah hitamnya yang berlumuran darah, ekspresi wajah yang seolah – olah menujukkan tidak ada sesuatu yang terjadi, membuat diriku bagaikan sesosok Dewa Kematian.
            Apakah ini masa laluku?
            Pertanyaan itu tidak bisa lepas dari pikiranku...


            “Lalu, apakah bagaimana denganku? Apakah aku ada di sana?” Setelah Aoi selesai bercerita, Sora langsung mengajukan pertanyaan padanya.
            “Hmm... entahlah... seperti yang aku katakan tadi, aku tidak melihat ada orang lain di sana kecuali diriku yang terpantul di kaca jendela.”
            “Berarti itu bukan masa lalumu, bodoh,” Sora menyentuh pipi Aoi dengan jari telunjuknya.
            “Eh? Kenapa kau berpendapat seperti itu?”
            “Mudah saja, karena aku tidak mungkin jauh darimu, benarkan?”
            “Hmm... aku rasa ada benarnya juga...” Aoi memandang ke arah langit – langit kamar, memikirkan apa yang Sora katakan. “Tetapi, bagaimana kalau pada saat itu ternyata kau ketakutan, sehingga kau kabur?”
            “Sudah kubilang itu tidak mungkin, kau terlalu berlebihan memikirkannya. Lagian jika benar ada kota yang terkepung oleh lautan api, pasti sudah menjadi berita besar, kan?”
            “Hmm... benar juga...”
            “____”
           
            “Aoi...” Sora memanggil Aoi dengan suara pelan.
            “Ada apa?”
            “Minggu depan... kau tidak lupa, kan?”
            “Tentu saja. Kali ini kau ingin ke mana?”
            “Tempat biasanya...”
            “..... Rasanya itu tidak mungkin,”
            “Eh!?” Sora bangkit dari tidurnya, lalu menoleh ke arah Aoi dengan ekspresi wajahnya yang terkejut.
            “Masalahnya, kita kan sudah tidak di kota Asuka lagi, kau lupa?”
            “_____”
            Sora menghela nafas, ia tampak begitu kecewa.
            Minggu depan adalah hari spesial bagi mereka berdua. Itu adalah hari di mana mereka berdua baru bertemu. Biasanya pada hari itu, Aoi mengajak Sora untuk pergi ke pantai tempat mereka berdua ditemukan. Memang seharusnya tempat itu akan menimbulkan trauma mendalam bagi mereka, tapi tempat itu kini justru menjadi tempat yang spesial bagi mereka.
            Di pantai tersebut sudah tidak ada apa – apa lagi. Bangunan yang dulunya berdiri dengan tegarnya, kini telah luluh lantak dengan tanah. Sampai sekarang pun reruntuhan bangunan tersebut masih ada. Orang – orang sekitar tidak membereskannya untuk mengenang peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam itu.

            “Aku lihat di depan apartemen ini ada sebuah taman, bagaimana kalau kita ke sana saja?”
            “____” Sora tidak menjawab dan hanya memasang muka cemberutnya.
            “Ayolah, untuk kali ini saja. Tahun depan, baru kita ke pantai itu lagi, bagaimana?”
            “Ugh... Baiklah, tapi kali ini saja! Tapi...”
            “Tapi apa lagi?”
            “Berjanjilah  kalau hanya kita berdua saja...” gumam Sora sambil berusaha menyembunyikan raut wajahnya dengan poni rambut miliknya.
            “Te... Tentu!” Aoi menjawabnya dengan nada bicara yang tampak ragu – ragu.
           
            Taman di depan apartemen mereka memang tidak sebesar taman ria namun, taman tersebut tidak pernah sepi. Karena pemandangan indahnya, banyak orang – orang memanfaatkan taman tersebut untuk bersantai, berkencan, bermain, bahkan untuk melukis. Mengharapkan taman tersebut sepi akan pengunjung rasanya sangat mustahil. Aoi tahu betul akan hal tersebut, namun ia tidak ingin mengecewakan Sora lebih jauh lagi.
            Tak lama setelah itu Sora lalu mencubit pipi Aoi dengan keras. “Argh, Apa yang kau lakukan!?”
            “Bukan apa – apa!” Sora langsung membalikkan badannya, tidur membelakangi Aoi. “Sampai besok...”
            “... Sampai besok,”
            “.... Haruskah kau memberi salam dengan mencubitku seperti ini!?”
            Selang beberapa menit kemudian, mereka berdua akhirnya memasuki alam tidur. Meninggalkan semua masalah yang ada, dan bersiap – siap untuk menghadapi keesokan harinya.

***
            Pukul 11.00 malam hari, Aoi terbangun dari tidurnya. Tidur satu ranjang dengan anak perempuan tampak tidak dapat membuatnya tidur dengan nyenyak. Walaupun mereka berdua kakak beradik, dengan umur mereka yang sekarang sudah sewajarnya bila mereka tidak lagi tidur dalam satu ranjang.
            Aoi yang terbangun di tengah-tengah tidurnya, akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar beranda apartemen untuk mencari angin segar malam hari. Dengan angin malam yang dingin, Aoi berharap ia akan kembali mengantuk sehingga dapat kembali tidur.
            Aoi menyandarkan bagian tubuhnya pada pagar pembatas yang berada tepat di depan pintu kamarnya, sambil melihat pemandangan kota pada malam hari. Sejauh matanya memandang, ia sama sekali tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan di kota tersebut. Suasana malam hari di kota Tresia tidak ubahnya kota mati.
            “Aneh... apa orang di kota ini tidak pernah bangun malam hari ya?” Aoi bergumam sendirian.
            Jangankan manusia, ia bahkan tidak melihat satupun nyamuk yang terbang seperti saat dia masih di kota Asuka. Gambaran kota Tresia dan kota Asuka dalam pikiran Aoi saat ini bagaikan dua dunia yang berbeda.
            Aoi mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Kertas itu adalah surat yang ia perlihatkan sebelumnya pada Sora. Sebuah surat berasal dari orang tidak dikenal bernama Sakuya.
            “Sakuya?” Aoi mendongak ke langit sambil berusaha memanggil memori yang telah lama terkubur. “Sepertinya nama ini tidak asing bagiku.....”
            Dalam benak pikirannya, Aoi yakin pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya, dan kejadian itu baru saja terjadi.
            Dengan raut wajah yang begitu serius, Aoi mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali ia bertemu dengan seseorang bernama Sakuya. Nama itu tidaklah asing baginya, ia merasakan kalau orang tersebut adalah orang yang dekat dengannya.
            “Argh! Aku tidak ingat!!!” Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya Aoi menyerah. Ia kemudian menompangkan dagu pada telapak tangan kanannya, “Semakin aku berusaha mengingatnya, entah mengapa rasanya aku menjadi kesal karena tidak ada sedikitpun petunjuk yang muncul...”
            *Tang* *Tang* Terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga yang terbuat dari besi. Suasa malam yang amat sepi pada saat itu, membuat Aoi dapat mendengar suara tersebut dengan sangat jelas. Ia pun otomatis mengalihkan pandangan matanya pada arah lorong menuju tangga untuk turun ke lantai satu.
                Memang Aoi baru mendengarkannya satu kali, tapi ia yakin kalau suara langkah kaki tersebut bukanlah milik Kagura. Suara langkah kaki tersebut terdengar begitu ringan, tidak seperti milik Kagura yang seorang ahli bela diri.
            Tak lama pemilik suara langkah kaki tersebut akhirnya terlihat, seorang perempuan yang nampaknya seumuran dengan Aoi. Penampilan perempuan tersebut begitu menarik perhatian Aoi.
            Perempuan itu memiliki bola mata yang berwarna sama dengan Aoi, merah, seperti Batu Ruby. Rambut hitamnya ia kepang dua dengan pita berwarna putih. Di tengah hembusan angin malam yang begitu dingin ini, perempuan tersebut mengenakan gaun panjang yang memperlihatkan kedua belah pundaknya, seolah ia sama sekali tidak merasakan kedinginan.
            Gaun yang ia kenakan dihiasi oleh renda dan beberapa aksesoris tambahan. Seluruhnya berwarna putih, mengingatkan akan cahaya bulan, yang didukung dengan warna hitam gelap bagaikan langit di malam hari.  
            Menyadari kalau Aoi sedang melihatnya, perempuan tersebut tersenyum sambil memberi salam, “Selamat malam, Tuan Aoi.”
            “Eh?” Perempuan tak dikenal tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’, membuat Aoi merasa sedikit canggung. “Kau... sia—“
            “Sakuya.”
            Sebelum Aoi sempat menyelesaikan kalimatnya, Sakuya telah terlebih dahulu menjawab pertanyaannya.
            “.....tunggu dulu!? Jadi kau orang yang bernama Sakuya!?” Aoi teringat kembali dengan sebuah nama yang menempel dalam benak pikirannya beberapa saat lalu.  
            Sakuya kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Dengan nada bicara yang terdengar begitu lembut ia menjawab, “Benar sekali, Tuan Aoi.”
            Orang yang tadi ia cari kini telah berada tepat di depan matanya. Sudah banyak sekali pertanyaan yang ingin Aoi tanyakan pada Sakuya. Namun akhirnya dari sekian banyaknya pertanyaan tersebut, ia memilih satu.
            “Siapa kau?”
            “....Siapa? Sakuya.” Sakuya kembali tersenyum.
            “Bu...bukan itu, maksudku kau itu siapa?”
            “Siapa? Bukankah Tuan sudah mengetahui siapa Sakuya?” Sakuya berjalan perlahan ke tempat Aoi berdiri.
            “Jangan bercanda! Kau tahu kan kalau aku kehilangan ingatan?”
            “Tentu! Jika tidak, Sakuya tidak akan mengirimkan surat itu.”
            “____” Aoi tampak sedikit kesal karena Sakuya terus menerus memutar balikkan pertanyaannya.
            Sambil sedikit tertawa, Sakuya kembali berkata, “Maafkan Sakuya, Tuan Aoi. Namun untuk pertanyaan itu... Sakuya belum dapat menjawabnya. Bukankah seharusnya ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu, Tuan Aoi?”
            “.....kau tahu cara mengembalikan ingatan kami?” Aoi menatap Sakuya dengan tatapan mata serius.
            “Anggap saja Sakuya mengetahui kunci untuk membuka kembali pintu ingatan itu, Tuan Aoi.”
            “Kalau begitu, bisakah kau memberitahukannya padaku sekarang, Sakuya?”
            Sakuya kini menggelengkan kepalanya.
            “Eh?”
            Setelah berada tepat di depan Aoi, Sakuya lalu berlutut seakan meminta maaf pada Aoi.  “Sakuya hanyalah pemandu Tuan Aoi. Sakuya hanya bertugas untuk mengarahkan agar Tuan Aoi datang ke kota ini, Kota Tresia...”
            “Ke... kenapa kau sampai berlutut seperti ini!?” Melihat Sakuya berlutut di hadapannya, seperti seorang pelayan berlutut pada majikannya, membuat Aoi kembali merasa canggung. Ia kemudian menawarkan tangan kanannya pada Sakuya.
            Sakuya menerima tangan tersebut dan kembali berdiri. Ia lalu mengibaskan tangannya untuk membersihkan debu yang menempel di gaunnya.
            “Jadi ingatanku berada di suatu tempat di kota ini, begitu maksudmu, Sakuya?” Aoi mencoba menyambung kembali percakapan mereka.
            “Ya.... Pilihan Tuan untuk tinggal di kota ini sudah merupakan salah satu kunci untuk mengambil kembali ingatan Tuan.” Sakuya kembali tersenyum, akan tetapi senyumannya kali ini tampak terlihat sedih. Sakuya lalu menggenggam pergelangan tangan kanannya dengan tangan kirinya. “Tuan Aoi... Apakah Tuan benar-benar berharap untuk mengambil kembali ingatan Tuan?”
            “_____” Aoi terdiam untuk sejenak. “Mungkin aneh kalau aku menjawab begini, tapi aku tidak begitu berharap untuk mendapatkan ingatanku kembali, hanya saja...”
            “Hanya saja?”
            Aoi menundukkan kepalanya. “Menyebalkan bukan bila orang yang sebelumnya kita kenal, kini menjadi orang asing?”
            “Tuan...”
            “Sakuya, apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Di suatu tempat?” Aoi kembali menatap mata Sakuya.
            “____” Kini balik Sakuya yang terdiam. Ia menundukkan kepalanya, menutupi sebagian wajahnya dengan poni rambutnya.
            Suasana kota Tresia yang tadinya tampak sedikit hidup dengan percakapan mereka berdua, kini kembali hening tanpa terdengar suara sedikitpun. Kota Tresia pada malam itu sudah tidak ubahnya kota mati...



Bagian 3
            “Yume?” Akari, perempuan dengan ikatan perban putih yang menutupi kedua matanya,  memanggil anak perempuan yang duduk berhadapan dengannya di meja berbentuk persegi panjang.
            “Apa?”
            “Ah tidak, aku kira kau sudah tertidur,” ucap Akari sambil tertawa kecil.
            “....mana mungkin ada orang yang tidur, sementara tangannya sedang bergerak mengecek satu persatu tumpukan dokumen yang sudah kayak gunung seperti ini?”
            “Ah benar juga!” Akari memukulkan genggaman tangan kiri ke telapak tangan kanannya.
            “Dasar, inilah akibatnya kalau kau menunda-nunda pekerjaanmu, Ketua Rune!” Yume tampak sedikit kesal, karena pada malam hari itu ia masih harus tetap tinggal di ruangan Rune bersama Akari untuk menyelesaikan tumpukkan dokumen yang ada.
            “Eh? Bukannya aku menunda! Aku kan juga harus mengurus keperluan untuk konser besok, Nona Yume!”
            “....berhentilah memanggilku dengan sebutan itu, atau aku akan menjahit mulutmu itu!” ucap Yume sambil menyeringai menatap Akari.
            “Ahhh... Yume tidak seru nih...” ucap Akari dengan perasaan kecewa.
            “Bagaimana dengan kesiapan konser besok, Akari?”
            “Tentu saja sempurna! Aku bahkan siap untuk menyanyikan 100 lagu!” ucap Akari sambil membentuk tanda V dengan jari tangannya.
            “....kau hanya punya jatah waktu 30 menit.”
            Mendengar ucapan Yume itu, Akari langsung menjatuhkan bahunya.
            “Ahhh... tidak seru...”
            “Itu sudah lebih dari cukup, kan?”
            “Kau sama sekali tidak mengerti, Nona Yume,” Tiba-tiba Akari bangun dari tempat duduknya. Ia lalu mengambil sebuah sapu ijuk yang berada di pojok ruangan, dan membawanya seolah-olah sedang membawa standing microphone. Sambil meletakkan tangan kanan di atas dadanya ia kembali berkata, “Sebagai seorang ‘Diva’, sudah sewajarnya aku menjawab dukungan para penggemarku. Karena itulah, waktu 30 menit itu tidak akan cukup, Nona Yume!”
            “Yak, kalau begitu 15 menit...” balas Yume dengan santai.
            “Aaaaa Yume, maafkan aku!” Akari mempertemukan kedua telapak tangannya, ia memohon maaf pada Yume.
            “Iya iya, aku cuma bercanda. 1 jam, itu cukupkan?” jawab Yume sambil tersenyum.
            “Terima kasih, Yume, kau baik sekali!” ucap Akari sambil memeluk erat Yume yang tidak lebih tinggi darinya.
            “Sudah, lepaskan!” Yume berusaha melepaskan diri dari pelukan Akari. Namun karena ia kalah dalam soal tenaga, akhirnya Yume pun menyerah.
            “Yume, ngomong-ngomong kau suka dengan nyanyianku kan?” tanya Akari sambil mengelus-elus rambut Yume yang berwarna perak. Selain itu, ia juga mengelus-eluskan pipinya pada Yume, seolah-olah Yume adalah kucing peliharaannya.
            Tanpa menghiraukan apa yang dilakukan Akari, Yume menjawab, “Ya, karena kau menyanyikannya dengan gembira.”
            “Benarkah? Kalau begitu kau tidak kan keberatan kan jika aku menjadi kakak iparmu, Yume!?”
            *TAK* terdengar suara pena yang patah.  
            Yume kemudian menatap Akari dengan tatapan yang bagaikan pemburu sedang mengincar mangsanya. Lalu dengan nada bicara yang lembut ia berkata, “....kau barusan bilang apa, Akari?”
            “Maafkan aku!” Tanpa pikir panjang, Akari langsung bersujud meminta maaf pada Yume.
            Yume menghela nafasnya. “Lagian untuk soal itu, kau kan bisa bertanya langsung pada orang yang bersangkutan.”
            Akari menggelengkan kepalanya. “Tanpa bertanya padanya pun, rasanya aku tahu ia akan menjawab apa,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
            “....begitu ya.” Yume kembali melanjutkan menulis laporan setelah mengganti penanya dengan pena yang baru.
            Mengikuti Yume, Akari pun kembali ke kursi untuk menyelesaikan tugasnya sebagai ketua Rune. Suasana ruangan pada saat itu kembali dipenuhi oleh suara gesekan pena dan kertas. Hingga akhirnya salah satu dari mereka kembali mengajak berbicara.
            “Eh, Akari...”
            “Ada apa, Yume?” Akari menengok ke arah Yume yang pandangan matanya masih tertuju pada kertas di bawahnya.
            “Akira, sudah pulang?”
            “Tenang saja, dia masih berjaga di depan pintu kok,” jawab Akari sambil tersenyum.
            “Oh... Bagaimana dengan Sakuya?”
            “Sakuya?” Akari kemudian merebahkan bagian atas tubuhnya ke atas meja sambil merentangkan kedua tangannya jauh ke depan. “Aku... tidak tahu. Sejak bertengkar hebat dengannya kemarin, aku tidak tahu di mana keberadaannya...”
            “Lagi?” Yume kembali mengehela nafas. “Kalian berdua tampaknya memang tidak pernah akur ya...”
            “Umm... kayaknya begitu... Seperti anjing dan kucing, air dan minyak, siang dan malam, seperti itulah...”
            “Tapi Akari, aku sering melihat anjing dan kucing akur tuh,” Yume menolak pendapat Akari.
            Memang banyak orang yang membuat anjing dan kucing sebagai contoh orang yang tidak akur. Namun kenyataannya, anjing dan kucing tidak pernah sekalipun bertengkar. Beda halnya dengan kucing dan tikus.
            “Ugh....” mendengar jawaban Yume, Akari akhirnya tidak bisa berkata apa-apa.
           
            Tumpukan kertas yang tadinya menggunung, akhirnya mulai berkurang jumlahnya hingga tersisa beberapa lembar saja. Usaha mereka untuk tetap tinggal di sekolah sampai larut malam demi menyelesaikan laporan terbayar sudah.
            Setelah selesai berberes, mereka berdua bersiap untuk meninggalkan ruangan. Sebelum itu, Yume tampak ingin mengatakan sesuatu pada Akari.
            “... Akari,” panggilnya dengan suara kecil.
            “Ada apa, Yume?” Akari berbalik menghadap Yume.
            “Apakah hari-hari seperti ini masih dapat berlanjut?”
            “....Entahlah,” Akari hanya bisa memberikan jawaban yang tidak pasti. Bagaimanapun juga, Akari bukanlah Tuhan yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada keesokan harinya. Namun, ia mencoba untuk tersenyum agar Yume tidak kecewa dengan jawabannya itu
            Malam telah berganti pagi, menandakan hari baru telah tiba. Setelah melewati liburan yang cukup panjang, akhirnya tahun ajaran baru di Akademi Tresia pun dimulai.